PENELITIAN AGAMA DAN MODEL-MODELNYA
- Penelitian Dan Penelitian Agama
Penelitian (Research)
adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah
dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti
upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan.
Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang
berdasarkan kajian-kajian
sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi
pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.[1]
Penelitian
itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode
keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari
jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2]
Sedangkan
penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang
sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang
menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi
sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus
menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.
Hal
yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau menjelaskan
bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan,
karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung
berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu
diteliti.[3]
Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama,
ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat
manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci.
Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan
penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan
para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua.
Ajaran
dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut,
mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan
penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya
merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak
benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat
relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan
zaman.[4]
Para
ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian
atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial
kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam
arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan
memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan
meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada
dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas
sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i Mufid, kita tidak
mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial
terhadap agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan
demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan
penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian
yang ditelitinya.
Penulis tidak setuju, kalau penelitian agama
betujuan bukan untuk meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi
bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial. Seandainya
itu digunakan, maka kebenaran suatu agama akan diabaikan atau tidak
mencari agama mana yang paling benar. Dan ini akan membuat agama islam
disejajarkan dengan agama-agama yang lain. Karena penelitian ini hanya
melihat dari sisi bagaimana suatu agama itu ada dalam kebudayaan
masyarakat tertentu, misalnya mengapa ajaran tarekat mudah diterima
dimasyarakat jawa, itu sebabnya karena masyarakat jawa masih banyak yang
mempercayai akan benda-benda mistis dan kemampuan alam ghaib. Dan dalam
penelitian agama yang seperti ini, kebudayaan-kebudayaan yang ada
diberbagai masyarakat tidak disalahkan atau dibenarkan, hanya sekedar
untuk mengetahui bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan masyarakat.
Dan kalau dimasukkan kedalam agama islam, maka kebudayaan-kebudayaan
yang seperti tarekat yang diterima di masyarakat jawa dan kiyai slamet
yang sangat diagung-agungkan di masyarakat Jawa Tengah, khususnya Yogya,
akan dianggap bahwa itulah ajaran islam.
Dalam mempermudah peta penelitian agama, kita dapat memahaminya melalui tabel berikut:
PETA PENELITIAN KEAGAMAAN
Dengan
demikian, agama dalam pengertian yang kedua, menurut Harun Nasution,
dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode
khusus yang berbeda dengan metode yang lain.
Jadi pendapat Harun
Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang
terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar agama
membetuk ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat
dirubah sesuai perkembangan zaman tidak sesuai dengan ajaran islam,
sebagai contohnya Rasulallah menjelaskan tata cara shalat, sedangkan
didalam kitab suci tidak diterangkan tata cara shalat, dan tata cara
shalat ini sendiri bersifat qot’i/ tidak bisa dirubah. Kalau menurut
Harun Nasution berarti penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata
cara shalat berarti bersifat nisbi dan dapat dirubah.
- Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan
M.
Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan
penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan
jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama
yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan
suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada
yang merintisnya. Adanya ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama islam dan ilmu musthalahul hadist
sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw merupakan
bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian
tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul. Persoalan
berikutnya ialah, apakah kita hendak menyempurnakannya atau
meniadakannya sama sekali dan menggantinya dengan yang baru, atau tidak
menggantinya sama sekali dan membiarkannya tidak ada.[5]
Sedangkan
untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial,
kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup
meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.[6]
Dengan
kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan pendapat yang
dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran
agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama
kelompok kedua menurut Harun nasution.
Dalam pandangan Juhaya S.
Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan
pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran
yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua
bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
- Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist.
- Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.
Sedangkan
penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik
ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.
Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi
hal-hal berikut.
- Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya.
- Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
- Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.
Dalam
hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan
dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi Juhaya
membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya
pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama
kelompok pertama.
Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya
adalah penelitian hidup keagamaan, yaitu penelitian terhadap
praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara
individual dan kolektif.
- Model-Model Penelitian Keagamaan
Adapun
model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan
antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini
dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang
secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama
melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung,
menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah.
Yaitu:
- Analisis Sejarah
Dalam hal ini, sejarah
hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat
menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu
lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter
agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti
halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang
diturunkan melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya
yaitu Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan
untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal.
Sedangkan agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja
seperti yahudi untuk ras yahudi saja.[7]
Pendekatan
sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih
tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah
bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan
dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang
bertahan konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.[8]
Menurut
ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin
memahami sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu
konsep ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama,
dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.[9]
Perihal
|
Islam
|
Yahudi
|
Nasrani/kristen
|
budha
|
Hindu
|
Asal usul nama tuhan |
Allah
|
Langsung dari yudha atau yehuda
|
Dari nama bangsa (nazaret) dan nama gelar yesus (kristus)
|
Dari nama tempat gautama
|
Pendirinya budha hindustan
|
Konsep tuhan |
Tauhid
|
Asal tauhid berubah jadi faham chauvinisme
|
Asal tauhid di ubah jadi trinitas
|
Tidak jelas
|
Trimurti
|
Kitab |
Al-qur’an
|
Talmud
|
Bibel
|
Tripitakan
|
Wedda
|
Status kitab |
Asli
|
Tidak asli
|
Buatan paulus
|
Renungan budha
|
Berisi mantra 2
|
Nabi |
Muhammad
|
Musa
|
Isa
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Status Nabi |
manusia
|
Manusia
|
Tuhan
|
Tidak punya nabi
|
Tidak punya nabi
|
Pembawa Agama |
Muhammad
|
Musa
|
Isa
|
Sidarta gautama
|
Tidak ada
|
Penyebar |
Sahabat-ulama
|
Rahib
|
Paulus-pendeta
|
Biksu
|
Pendeta
|
Sifat Agama |
Universal
|
Eksklusif
|
Universal
|
Tidak universal
|
Tidak universal
|
Missi |
Da’wah
|
Bukan missi
|
Missi
|
Bukan missi
|
Bukan missi
|
Perubahan dari asal |
Tidak berubah
|
Berubah
|
Berubah
|
Berubah
|
Berubah
|
Agama-agama dipandang dari segi sejarahnya.[10]
- Analisis lintas budaya
Analisis
lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat
dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa
antripologi mengkaji kebudayaan manusia.[11]
Islam
sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah
melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri
memiliki corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya.
Karena itu dari segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian
islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran islam yang bercorak
lokal budaya setempat.[12]
- Eksperimen
Penelitian
yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian
agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam
penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar
dari beberapa model pendidikan agama.
- Observasi partisipatif
Dengan
partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku
orang-orang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang
yang sedang diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu
memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara
mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan
observer.
- Riset survei dan analisis statistik
Penelitian
survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel
dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau
penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat
berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan
tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan tertentu.
- Analisis isi
Dengan
metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama,
baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun deklarasi teks,
dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari
substansi ajaran kelompok tersebut
Dari model-model penelitian
keagamaan diatas muncul pertanyaan bagi kita semua, apakah dari
model-model penelitian keagamaan diatas bisa bermanfaat bagi agama
islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu sendiri? Sebuah
pertanyaan yang patut kita renungkan bersama
[1] Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55
[2] Ibid, hal. 56
[3] Ibid, hal. 57
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 50
[6] Ibid
[7] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118
[8] Ibid, hal. 120
[9] A. Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38
[10] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, hal. 119
[11] Ibid, hal. 114
[12] Ibid, hal. 115
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu