Free will dan Predestination
Oleh: Nizar A. Saputra
Pendahuluan
Konsepsi
tentang perbuatan manusia pernah menjadi perdebatan yang begitu hebat
di dunia Islam. Begitu hebatnya perdebatan itu, sehingga mengakibatkan
pembunuhan terhadap para aktifisnya. Nuansa perdebatan itu pun hingga
kini masih terasa. Bahkan, menurut penulis, nuansa itu akan terus terasa
dan
terus terjadi hingga di jaman yang akan dating
Dalam ranah pemikiran Islam (baca; Ilmu Kalam), perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada
yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa
perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri.
Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bias lakukan.
Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bias saja untuk tidak
melakukannya.
Kedua, begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi
kelompok ini, manusia tidak bias berbuat apa-apa, manusia tidak
memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah
dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah. Sementara yang kedua disebut Jabariyah.

Dalam
perkembangannya, kedua aliran tersebut ternyata dijadikan kendaraan
politik untuk melanggengkan kekuasaan. Bani Umayyah merupakan contoh
yang dapat mendeskripsikan keadaan tersebut. Sebagaimana disebutkan
dalam berbagai literature sejarah peradaban Islam, Bani Umayyah
memanfaatkan faham jabariyah untuk melanggengkan kekuasaannya.[1] Sementara paham Qadariyah pada saat itu menguntungkan pihak oposisi, dalam hal ini adalah Bani Abbasiyah. Bani Umayyah tentunya dengan faham Jabariyahnya
melakukan berbagai intimidasi bahkan pembunuhan terhadap para
pemberontak pemerintahan. Ketika ditanya, mengapa mereka melakukan itu?
Mereka akan sangat mudah menjawab, “ini semua bukan atas kehendak kami,
melainkan kehendak Tuhan”. Bani Umayyah menjadikan doktrin agama sebagai
landasan bagi tindakan mereka.
Disinilah politisasi agama
[politik dengan topeng agama] pernah terjadi dalam dunia Islam. Agama
dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Mungkin benar apa
yang dikatakan George Balandes, agama memiliki dua sisi yang
kontradiktif. Di satu sisi agama dijadikan sumber terbentuknya institusi
yang menciptakan berbagai tata-aturan, sedang pada sisi yang lain ia
dapat dijadikan legitimasi bagi berbagai tindakan.[2]
Konsepi
tentang perbuatan manusia pun sering dijadikan kambing hitam dalam
menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan terbelakangnya keadaan
umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, faham Jabariyah yang
menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut oleh Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah, merupakan factor utama mundurnya umat Islam
sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju, Qadariyahlah
[dalam hal ini maksudnya adalah Mu’tazilah] yang harus dianut atau
dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam.
Benarkah demikian? Pemaparan singkat ini mudah-mudahan bias memberikan gambaran dan jawaban terhadap pertanyaan di atas.
Free-will and Predestination
Mungkin terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan Predistintion dengan
Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran tersebut dijadikan acuan
dalam pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr.
Hasan Zaini, Qadariyah dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism.[3]
Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara
istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan dibicarakan bukan mengenai
kedua aliran itu (baca; Qadariyah dan Jabariyah), melainkan nilai dan
fahamnya. Lagi pula, baik Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu lebih
cenderung merupakan kelompok politik ketimbang aliran pemikiran murni
(Madzhab).[4]
Menurut kalangan rasionalis Islam, yang dimotori Mu’tazilah[5],
manusia mempunyaidaya yang besar lagi bebas. Mu’tazilah sebagaimana
dikatakan al-Syahratsani, bersepakat bahwa manusia mampu menciptakan
perbuatan-perbuatannya, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Karenanya, manusia, menurut mereka, berhak mendapatkan upah dan siksaan
terhadap apa yang dilakukannya di akhirat nanti. Tuhan itu bersih dari
penyandaran keburukan dan kedzaliman, dari kekufuran dan kemaksiatan.
Seandainya kedzaliman itu diciptakan Tuhan, berarti Dia dzalim.[6]
Paham
Mu’tazilah yang memberikan kebebasan dan berkuasanya manusia, akan
lebih jelas lagi jika kita merujuk pernyataan para tokohnya. Wasil bin
Atha misalnya. Dalam masalah ini, pendiri Mu’tazilah ini banyak
persamaan dengan Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Menurut Wasil
bin Atha, Allah subhanahu wa ta’ala itu adil. Tidak boleh
menyandarkan kejelekan dan kedzaliman kepadaNya, dan tidak boleh [Dia]
berkehendak agar hambanya menyelesihi perintahNya. Tuhan harus mengadili
mereka kemudian membalas mereka atas perbuatan-perbuatannya. Maka
hamba, kata Washil bin Atha, adalah yang mengerjakan kebaikan dan
keburukan. Begitu juga iman, kufur, ta’at dan ma’siat itu pilihan
manusia.[7]
Senada dengan Washil, al-Juba’I juga mempunyai pandangan bahwa
manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik
dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri.
Dan daya (al-Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[8]
Begitu juga dengan al-Qadh Abd al-Jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia
bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah
yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan[9] dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih.[10]
Tuhan, menurut Abd al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala
kepada seseorang berdasar kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang
dilakukannya. Dalam pengertiannya sebagai suatu tindakan, amal yang
dilakukan seseorang terjadai karena pilihan bebasnya. Karena itu, menjai
mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak mutlak Tuhan,
tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan tersebut
berjalan adil pula, Allah wajib
menurunkan petunjuk, aturan, dan mengirim nabi-nabi dengan membawa
peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka manusia
dipersilahkan memilih menjadi iman atau kafir.[11]
Dari
beberapa keterangan tokoh Mu’tazilah di atas, jelaslah bahwa manusia
dalam pandangan Mu’tazilah adalah pencipta perbuatannya. Kehendak
berbuat adalah kehendak manusia. Jika kita perhatikan, pandangan
Mu’tazilah dalam masalah ini hamper mirip, untuk tidak mengatakan sama,
dengan pandangan Qadariyah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika ada
yang menyebut Mu’tazilah itu adalah Qadariyah.[12] Bahkan Fazlur Rahman menyebut Mu’tazilah sebagai aliran bentukan dari pengembangan Qadariyah.[13]
Meskipun demikian, sebenarnya dari awal Mu’tazilah menolak stigma
tersebut. Sebagaimana disebut Syahratsani, bagi Mu’tazilah sebutan
Qadariyah itu lebih tepat diberikan kepada orang yang percaya Qadar Tuhan, baik dan buruknya.[14] Sedangkan Mu’tazilah itu menganut paham ikhtirariyyah (pilihan bebas).[15]
Kembali
pada kehendak manusia. Menurut Harun Nasution, dari pemaparan para
tokoh Mu’tazilah di atas, tidak dijelaskan apakah daya yang dipakai
untuk mewujudkan perbuatan itu adalah juga daya manusia sendiri, bukan
daya Tuhan. Dalam hubungan ini, demikian Harun Nasution, perlu kiranya
ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau
kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu dan kemudian barulah
terwujud perbuatan. Harun kemudian menyimpulkan, bahwa bagi Mu’tazilah
ternyata daya untuk mewujudkan itu adalah daya manusia bukan daya Tuhan.
Ini bisa dilihat dari pernyataan Abd al-Jabbar sendiri. Menurutnya,
yang dimaksdu dengan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan
perbuatannya” ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia
dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan yang telah dibuat
manusia. Tidaklah mungkin bahwa Tuhan dapat mewujudkan perbuatan yang
telah diwujudkan manusia.[16]
Untuk
mendukung pendapatnya ini, al-Jabbar kemudian memberikan argument
rasional. Manusia, kata al-Jabbar, dalam berterima kasihnya kepada
manusia atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima
kasihnya kepada manusia yang berbuat baik itu pula. Demikian pula, dalam
melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik
yang diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Lebih lanjut lagi
ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesame manusia. Jika
sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan
manusia , perbuatan itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan
demikian bersifat dzalim. Hal ini tidaklah mungkin, tidak bisa diterima
akal.[17]
Abd al-Jabbar tidak hanya menyodorkan argument rasional, tetapi dia juga menggunakan argument naqliyah (al-Quran) untuk menguatkan pendapatnya. Dalil (baca; argument) Naqliyyah yang
dipakai Abd al-Jabbar dan kebanyakan Mu’tazilah di antaranya adalah;
Qs. al-Baqarah: 108, Ali Imran: 133, al-Nisa: 79, al-Taubah: 82,
al-Kahfi: 29, dan al-Taghabun: 2.[18]
Begitulah
pandangan Mu’tazilah tentang kehendak dan perbuatan manusia. Bagi
Mu’tazilah perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah
perbuatan manusia sendiri, dan seperti kata Asy’ari, perbuatan manusia
dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kata kiasan. Dengan kata
lain, manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatan-perbuatannya. Ini jelas sekali bertentangan dengan Ijma’ ulama tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Karena inilah, lawan-lawannya menuduh mereka mempunyai paham syirik atau polytheisme. Bahkan al-Asy’ari dan al-Maturudi menuduhnya tidak lagi membutuhkan Tuhan.[19]
Berbeda
dengan Mu’tazilah, al-Asy’ari, kata Harun Nasution, memandang lemah
manusia. Karenanya, al-Asy’ari lebih dekat kepada paham Jabariyah.
Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung kepada kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan
kewamauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb (acquisition, perolehan).
Dalam kitabnya al-Maqalat, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Arti al-kasb menurut
al-Asy’ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Di kitabnya yang lain, al-Luma, al-Asy’ari juga memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-Muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan.[20]
Tentang
teori al-Asy’ari di atas, Harun Nasution memberi komentar. Menurutnya,
term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung arti kompromi antara
kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan
pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul
dari yang memperoleh membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab manusia atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu
adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga
akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.[21]
Pendapat
al-Asy’ari seperti di atas, dapat dilihat dari urainnya mengenai
perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan
involunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsure; [pertama] penggerak
yang mewujudkan gerak dan [kedua] badan yang bergerak. Penggerak dalam
hal ini maksudnya adalah Tuhan, sedangkan yang bergerak maksudnya adalah
manusia. Yang bergerak bukanlah Tuhan, sebab, gerak menghendaki tempat
yang bersifat jasmani, sedangkan Tuhan tidak mempunyai bentuk jasmani.
Dari sinilah kemudian al-Asy’ari mengemukakan teori kasbnya. Menurutnya, al-Kasb juga
serupa dengan gerak involunter, yakni mempunyai dua unsure; [pertama]
pembuat (Tuhan) dan [kedua] yang memperoleh perbuatan (manusia). Pembuat
yang sebenarnya dalam kasb adalah Tuhan, sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.[22]
Menurut
Harun Nasution, jika dilihat uraian al-Asy’ari di atas, jelaslah
sebenarnya tidak ada perbedaan antara perbuatan involunter dan al-kasb.
Dua-duanya merupakan dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pembuat
sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia hanyalah sebagai
tempat mewujudkan dan berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Jika
demikian, kata Harun, kasb, sebagaimana halnya dengan
perbuatan-perbuatan involunter, merupakan perbuatan paksaan dan
perbuatan di luar kekuasaan Tuhan. Namun, bagi al-Asy’ari, demikian
Harun Nasution, kadua hal itu berbeda. Dalam perbuatan involunter,
manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tidak dapat dielakkannya, walau
bagaimanapun ia berusaha, namun dalam al-kasb paksaan yang
demikian tidak teradapat.. Gerak manusia yang berjalan pulang pergi
berlainan dengan gerak manusia yang menggigil karena demam. Meskipun
keduanya sama-sama mengandung unsure gerak, namun tetap saja berbeda.
Dalam hal yang pertama terdapat daya yang diciptakan, sedangkan dalam
hal yang kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama
teradapat daya, kata Asy’ari, perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan;
kepadanya diberi nama al-kasb. Begitupun, kedua perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.[23]
Di
sini belum jelas, daya yang menyebabkan manusia mewujudkan perbuatan
itu apakah bersatu dengan diri manusia atau tidak? Apakah daya itu ada
sebelum perbuatan atau ada bersama-sama perbuatan? Menurut al-Asy’ari,
daya itu lain [berpisah] dari diri manusia sendiri, karena manusia
terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud
sebelum adanya perbuatan; daya itu ada bersama-sama dengan adanya
perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja.[24]
Dalam
paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya; daya
Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada
ahirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan.[25]
Itu
argument-argumen al-Asy’ari secara rasional. Al-Asy’ari menggunakan
dalil al-Quran untuk menguatkan teologinya. Alasan al-Asy’ari
berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan didasarkan pada
Qs. al-Shaffat: 96,
!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Wa ma ta’malun dalam ayat di atas diartikan al-Asy’ari “dan apa yang kamu perbuat”. Jadi, secara global ayat itu diartikan “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat”. Dalam edisi al-Quran terjemah Indonesia juga artinya sama seperti itu. Jika merujuk pada kitab tafsir bi al-Maksur, misalnya Tafsir al-Quran al-‘Adzim, karya
Ibnu Katsir, maknanya juga hampir sama dengan yang diungkapkan
al-Asy’ari. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadits
riwayat Bukhari dalam kitab Af’al al-Ibad yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’aala adalah pencipta setiap pembuat (pekerja) dan perbuatannya (pekerjaannya).[26]
Namun,
karena argument inilah al-Asy’ari banyak mendapat kritikan. Fazlur
Rahman misalnya. Dia mengkritik al-Asy’ari baik karena argument naqlinya ini, ataupun teorinya tentang kasb (acquire, memperoleh). Tentang isitlah al-Kasb yang
digunakan al-Asy’ari, pernyataan Rahman sangatlah menarik. Menurut
Rahman, al-Asy’ari ketika ditanya mengapa ia menggunakan kata acquire daripada kata do berkenaan
dengan manusia. Jawaban al-Asy’ari, sebab al-Quran pun begitu.
[padahal] al-Quran, kata Rahman, tentu, dengan jelas menggunakan kata “do” (fa’ala) dan “perform” (‘amala) berkenaan dengan manusia. Sementara istilah al-Kasb oleh
al-Quran agak jarang digunakan. Al-Quran tampak mengunakan istilah ini
ketika ingin menegaskan tidak hanya menunjukkan perbuatan tetapi
membangkitkan rasa tanggung jawab terjadap perbuatan manusia, baik atau
buruk. Karena itu, demikian Rahman, al-Asy’ari pasti melakukan penekanan
terhadap makna al-Quran di sini.[27]
Sedangkan
mengenai interpretasi al-Asy’ari terhadap Qs. al-Shaffat:96, disini
pernyataan Rahman juga sangat menarik. Kata Rahman, interpretasi
al-Asy’ari terhadap ayat itu merupakan usaha yang sangat rasional untuk
membuktikan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia. [padahal] Ini
merupakan bagian pembicaraan Ibrahim kepada orang-orang yang menyembah
berhala. Saat itu, Ibrahim berkata pada mereka; “Apakah kamu menyembah
apa yang kamu bentuk [pahat]? Jelas, kata Rahman, bahwa ayat ini juga
menyatakan bahwa Ia-lah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan
berhala-berhala yang telah kamu buat itu. Tetapi al-Asy’ari, demikian
Rahman, mengganti kata-kata “apa yang kamu buat” dengan kata-kata “apa
yang kamu lakukan”. Dalam bahasa Arab, wa maa ta’malun, sangat rentan terhadap dua penafsiran. Tetapi secara jelas, konteks itu melawan interpretasi Asy’ari.[28]
Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu
harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan
kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia.
karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan
baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari,
dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak
Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang
berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah
menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia
bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja
memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal,
surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga
terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan
hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan
memberi takanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah
mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.[29]
Begitulah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah tentang free will dan predestination. Bagaimana dengan aliran lainnya? Bagi golongan Maturidiyah, perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan.[30]
Manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Sebelum berbuat, manusia
memiliki kekuatan tertentu, yang termasuk kekuatan fisik dimana ia
diberi. Tetapi untuk perbuatan actual, kekuatan alamiah ini
disempurnakan dengan kekuatan lain, karena itu perbuatan itu perlu dan
dengan serta mengikuti. Kekuatan kedua ini diciptakan oleh Tuhan melalui
agen pada saat perbuatan.[31]
Pendapat
Maturidi tersebut ada kemiripan dengan Asy’ariyah. Namun, substansi
keduanya agak berbeda. Bagi Maturidi, yang namanya perbuatan itu ada
dua, [pertama] perbuatan Tuhan dan [kedua] perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian
daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan
bersama-sama dengan perbuatan. Jadi tidak sebelum perbuatan seperti
dikatakan Mu’tazilah. Perbuatan manusia, bagi Maturidi, adalah perbuatan
manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian
upah dan hokum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan
demikian, manusia diberi hukaman atas kesalahan pemakaian daya dan
diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya.[32]
Menurut
Harun Nasution, Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak
ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan
Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti disebut Asy’ariyah. Berpegang
kepada pndapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia
dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti
sebenarnya, daya untuki berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya
manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai
perbuatannya senidri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan
perbuatan itu. Kaum Asy’ariyah, karena memandang perbuatan adalah
perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai
perbuatan manusia yang sebenarnya.
Mengenai soal kehendak,
keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahw
kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan
maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai
dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak
dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah
paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.[33]
Sungguhpun
demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand
maupun Bukhara, kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini
berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan
bukan atas kehendak manusia. dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan
atau fatalisme dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang
kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu
Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau kemauan dan ridha atau
kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas
kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan
tiadak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk
atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan.[34]
Bagaimana dengan Syi’ah? Sebenarnya agak sulit untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka terhadap free will dan predestination. Sebab,
mereka sendiri sudah terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dan
masing-masing mempunyai keyakinan yang berbeda. Namun, pembahasan
sepintas secara umum mungkin akan memberi sedikit gambaran pada kita
konsepsi mereka tentang masalah ini.
Al-Asy’ari dalam bukunya, Maqaalaat al-Islamiyyiin wa ikhtilaf al-Mushallin, menyebutkan
beberapa pendapat Syi’ah Rafidhah tentang masalah perbuatan manusia.
Sediktinya ada tiga pendapat yang berbeda-beda. Pertama; kelompok
pertama ini ialah para pengikut Hisyam bin al-Hakam al-Rafidhi, di mana
mereka beranggapan bahwa perbuatan seorang hamba Allah itu
diciptakanNYa. Ja’far bin Harb menceritakan, bawa Hisyam bin al-Hakam
menyatakan: “sebenarnya dari satu segi perbuatan manusia ini merupakan daya (ikhtiyar)
manusia itu sendiri, karena dia itulah yang menghendaki dan
mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan manusia ini pun
merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya, karena
perbuatan manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya
sebab yang menggerakkan ataupun mendorong kea rah terjadinya perbuatan
manusia tersebut.[35]
Pendapatnya ini mirip dengan aliran Maturidiyah. Karenanya, Fazlur
Rahman menyebut ide Hisyam bin Hakam ini sebanding dengan pandangan
Maturidi.[36]
Kedua; kelompok
ini beranggapan bahwa manusia itu tidak bebas dan selalu dalam keadaan
terpaksa, sebagaimana anggapan para pengikut aliran jahmiyyah, tetapi manusia itu pun tidak boleh hanya berserah diri saja, sebagaimana anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah. Ketiga; yang
ketiga ini beranggapan bahwa perbuatan hamba Allah itu bukan
diciptakan Allah. Yang beranggapan seperti ini, kata Asy’ari, muncul
dari mereka yang memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan.[37] Yang terakhir ini memiliki kemiripan dengan teologi Mu’tazilah.
Menarik
untuk ditelusuri mengapa terjadi pertentangan di antara Sy’iah
Rafidhah. Yang pertama seolah-olah cenderung kepada Maturidi, yang kedua
pada Jahmiah dan yang ketiga pada Mu’tazilah? Mengapa terjadi
pergeseran nilai teologi dalam masalah Qadar di Syi’ah? Bisa jadi ini
dikarenakan ada pengaruh Mu’tazilah. Kita diberi tahu dari berbagai
buku, bahwa antara Mu’tazilah dan Syi’ah ternyata memiliki hubungan yang
erat sekali. Konon, Ja’far al-Shadiq adalah guru Washil bin Atha.
Selain itu, sebagaimana disebutkan Fazlur Rahman, terjadi perubahan di
Syi’ah setelah mereka kemasukan peninggalan Mu’tazilah pada abad
ke-4/10. Apalagi setelah kemenangan –pada abad ke-12/18– kaum-kaum
ushul.[38]
Pada abad 7/13 ilmuwan dan filosof-teolog Syi’ah Nasir al-Din al-Tusi
dan muridnya Ibnu al-Mutakhar al-Hilli menulis pengantar filsafat ke
dalam teologi Syi’ah. Filsafat yang diformulasikan dengan teologi dalam
Islam banyak dilakukan oleh Mu’tazilah. Semenjak itu, Syi’ah mengadopsi
pandangan spiritual tentang hakikat Tuhan, menafsirkan pernyataan
antropomorphis terhadap al-Quran dan Hadits ala Mu’tazilah. Ajaran Qadar
pun berkembang lebih jauh di Syi’ah mirip dengan konsep Mu’tazilah.
Pandangan Ibnu Taimiyah
Ibnu
Taimiyah adalah tokoh refresentatif Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Karenanya, menarik untuk mengetahui pandangan dia terhadap free will dan predestination. Sementara Syaikh Shalih bin Fauzan adalah ulama khalaf yang concern dan capable di bidang Aqidah. Namun, pernyataan Shalih bin Fauzan di sini hanyalah kutipan penulis dari edisi terjemahan Tim Ahli Tauhid.
Bagi
Ibnu Taimiyah, baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah telah melakukan
kekeliruan dan menyalahi mayoritas muslim seperti para imam empat dan
para ulama salaf. Asy’ariyah hanya menegaskan irada (kehendak
Allah), tetapi tidak menegaskan kebijaksanannya. Asy’ariyah hanya
menegaskan segala kehendak Allah tanpa menegaskan kemurahan, cinta dan
ikhlas. Begitu juga dalam perbuatan, mereka [Asy’ariyah dan filosof]
menganggap semua makhluk sama di hadapanNya, tetapi tidak membedakan
antara kehendak, cinta dan syukur. Tidak hanya para filosof, Ibnu
Taimiyah juga sangat mengacam teolog dan sufi. Menurutnya, mereka telah
melakukan kekeliruan. Mereka sebenarnya mengambil posisi yang jauh lebih
buruk daripada Mu’tazilah dan lainnya yang mendukung qadar (free will). Sebenarnya, orang-orang pendukung free will
ini menyertakan kepentingan yang besar terhadap perintah dan larangan,
janji dan ancaman, ta’at pada Allah dan RasulNya, dan menyuruh berbuat
baik dan melarang berbuat buruk. Namun, kata Ibnu Taimiyah, Mu’tazilah
tersesat dalam masalah qadar. Mereka [Mu’tazilah] salah
mempercayai bahwa jika mereka menegaskan kehendak kreatif Tuhan yang
universal, segala kekuasaan dan kreativitasNya terhadap segala sesuatu
itu berakibat penghinaan yang tak bisa disetujui terhadap keadilan dan
kebijaksananNya. Mereka telah melakukan kesalahan dalam keyakinan.
Sedangkan
para teolog dan sufi, semuanya menegaskan kemahakuasaan Tuhan. Mereka
betul-betul percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya dan maha memiliki
dan apa pun yang Ia kehendaki tidak akan terjadi. Semua ini, kata Ibnu
Taimiyah, baik dan benar. Tetapi mereka kurang dalam perintah dan
larangan Tuhan; janji dan ancaman. Beberapa di antara mereka ada yang
berlebihan, menjadi ekstrim dan terjebak dalam persoalan bid’ah.
Kenyataannya, mereka menjadi mirip dengan musyrik yang mengatakan: “Jika
Tuhan menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu apa pun (Qs.
6: 148).[39]
Bagi Ibnu Taimiyah, orang yang menegaskan kekuasaan Tuhan kemudian
menjadikannya sebagai sebuah pendapat untuk menghilangkan perintah dan
larangan Tuhan, lebih buruk daripada orang yang hanya menegaskan
perintah dan larangan, tetapi tidak menegaskan kekuasaan Tuhan.[40]
Lalu
bagaimana sikap atau pandangan Ibnu Taimiyah terhadap masalah ini? Bagi
Ibnu Taimiyah sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman,
predeterminisme, boleh; tetapi menggunakannya sebagai argument untuk
menjelaskan atau menutupi perbuatan dosa, itu tidak boleh.[41]
Bagi Ibnu Taimiyah, masalah determinisme sebagai determinisme Tuhan
yang komprehensif, merupakan obyek keyakinan dan bukan dasar dari suatu
perbuatan.[42]
Untuk memahami pernyataan itu, mungkin contoh berikut akan memudahkan
kita memahaminya. Makalah saya ini bisa selesai dan rampung seperti
sekarang ini, adalah merupakan kehendak Allah. Tetapi sampai makalah ini
benar-benar terjadi, benar-benar beres, saya tidak tahu apa kehendak
Allah dengan makalah saya ini. Oleh karenanya, atribusi saya untuk
perbuatan saya atau perbuatan apa pun tidak dapat secara tepat
dihubungkan pada Allah sampai itu menjadi masalah yang telah berlalu.
Semua
yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui
olehNya. Allah tidak pernah menciptakan kejelekan yang murni, yang tidak
melahirkan kemaslahatan. Maka kejelekan dan keburukan tidak dinisbatkan
kepadaNya dari sudut pandang sebagai keburukan yang murni, tetapi ia
masuk dalam renteten makhluknya. Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Allah adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak
termasuk kedalam sifat Allah dan tidak juga de dalam perbuatanNya. Dia
memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditujukkan dalam firmanNya: yang
artinya.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dari sendiri” (An-Nisa: 79).
Maksud
(ayat itu) adalah segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia
adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah
karena dosa dan kemaksiatannya. Tidak sorang pun bisa lari dari takdir
yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala pencipta
manusia. Tidak ada yang terjadi di dalam kerajaanNya ini melainkan apa
yang dia kehendaki, dan Allah tidak meridhai kekuturan untuk hambaNya.
Dia telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan berikhtiar.
Maka segala perbuatannya adalah terjadi atas kemampuannya dan
kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki karena
hikmahNya. Tidak ditanya tentang amal perbuatan mereka.[43]
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar. Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyalahkan
nasib, berdiam diri menghadapi hidup ini. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
justru menyuruh umat Islam untuk melakukan berbagai aktifitas dan
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Jadi tidak benar jika
teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar menjadi penyebab mundurnya peradaban Islam, menjadi penyebab mundurnya umat Islam. I’maluu faiinnahu kullu muyassarun, ikhrish ‘alaa ma yanfa’uka wa laa ta’juz. Wallahu Muwafiiq ilaa Aqwam al-Thariq.
[1] Lihat umpamanya Nurkhalis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1996, cet. 3, hal. 14. Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, disunting Ebrahim Moosa, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000, Cet. I, hal. 62, selanjutnya disebut Gelombang Perubahan dalam Islam.
[2] Geroge Balandes, Antropologi Politik, Bina Aksara, Jakarta: 1986, hal. 152-3
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta: 2002, Edisi Kedua, Cet. I, hal. 33. Dr. Hasan Zaini MA, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta: 1997, cet. I, hal. 60. selanjutnya disebut Tafsir Tematik.
[4]
Sebagaimana dijelaskan para sejarawan Muslim, Qadariyah merupakan
aliran yang didirikan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi.
Ma’bad merupakan orang yang ikut serta dalam pemberontakan terhadap Ibnu
al-Ash’ath. Karena inilah, dia diadili pemerintahan Abdul Malik dan
dieksekusi mati karena mempunyai paham Qadariasme. Menurut Fazlur
Rahman, sangat mungkin ia dieksekusi mati dikarenakan paham Qadariyahnya
dijadikan dalih untuk memberontak. (Fazlur Rahman, Op,Cit, hal.
58-59) keterangan serupa diberikan Harun Nasution. Menurutnya, Ma’bad
ikut lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur
Sijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. (Teologi Islam, hal.
34) Sedangkan Ghilan al-Dimsyaqi dieksekusi mati di bawah pimpinan
Umayyah Hisyam bin Abdul Malik. Dia mati dikarenakan hal yang sama,
yakni masalah politik. Dia juga dituduh menyebarkan propaganda melawan
pemerintahan ketika di angkatan darat pada sebuah ekspedisi di Armenia. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal.
58) Data ini menjadi bukti untuk mengatakan Qadariyah sebagai aliran
teologi yang cenderung pada politik, bukan aliran pemikiran murni. Bukan
sebagai sebuah Madzhab. Sementara Jabariyah, ada yang menarik di sini.
Fazlur Rahman berbeda dalam hal ini dengan Harun Nasution. Al-Jad bin
Dirham yang oleh Harun Nasution dikatakan sebagai peletak dasar
Jabariyah (Teologi Islam, hal. 35), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pendukung Qadariyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal.
58). Saya buka bukunya al-Syahratsani, ketika membahas Jabariyah,
beliau tidak menyebut al-Jad bin Dirham. Syahratsani justru memasukan
Jahm bin Sofyan dalam urutan utama tokoh Jabariyah. (lihat al-Imam Abu
al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, al-Juz al-Awwal, Tahqiq.
Al-Ustad al-Syaikh Ahmad Fahmi Muhammad, Dar al-Surur, Bairut, Libanon:
1368 H/1948, Cet. I, hal. 112-113). Namun, kendati Fazlur Rahman dan
Harun Nasution berbeda, data dari Fazlur Rahman menarik untuk kita
ketahui. Menurut Rahman, al-Jad bin Dirham mempunyai hubungan dekat
dengan cucu Marwan, Marwan bin Muhammad. Bahkan al-Jad bin Dirham ini
adalah guru pribadi Marwan bin Muhammad. Cucu Marwan ini kata Fazlur
Rahman adalah pengikut al-Jad bin Dirham. Pengaruh dia terhadap Marwan
bin Muhammad sungguh begitu banyak. Marwan bin Muhammad sendiri adalah
gubernur Jazira yang kemudian menjadi khalifah terakhir bani Umayyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal.
59). Jika kita menerima al-Jad bin Dirham sebagai pendiri Jabariyah,
maka kita bisa menyimpulkan bahwa paham ini cenderung pada gerakan
politik. Paham ini menjadi legitimasi politik Bani Umyyah.
[5] Mu’tazilah, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, merupakan madzhab [aliran pemikiran murni], bukan aliran politik. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal.
57). Mereka, kata Rahman, tidak seperti Khawarij. Mereka diam dalam
masalah politik karena mereka hanyalah aliran pemikiran. (ibid, hal.
64). Memang para tokoh Mu’tazilah pada awalnya tidak pernah aktif dalam
dunia politik. Al-Manshur misalnya, pernah mengajak Ibnu Ubaid dan
kelompoknya yang berfaham Mu’tazilah untuk membantunya membantu
pemerintahan. Namun mereka menolaknya. (Lihat dalam catatan kaki Dr.
Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Tela’ah Atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, Pena Merah, Bandung: 2004, Cet. I, hal. 16. Selanjutnya disebut Dari Teologi Ke Ideologi).
Akan tetapi, pada akhirnya Mu’tazilah juga terseret juga dalam masalah
politik, terutama pada masa Abbasiyyah. Bahkan mereka pernah dijadikan
Madzhab resmi Negara oleh al-Ma’mun.
[6] al-Milal wa al-Nihal, hal. 59
[7] ibid, hal. 62
[8] Ibid, hal. 105
[9] Orang Mu’tazilah biasanya memakai kalimat yahluqu (menciptakan)
terhadap perbuatan manusia. Namun, disni penulis merasa ada kerancuan;
sebenarnya kata apa yang digunakan al-Qadh Abd al-Jabbar? Apakah ini
kesalahan Harun Nasution dalam mengartikan? Atau memang, Abd al-Jabbar
sendiri yang memakai kata itu. Jika Abd al-Jabbar sendiri yang memakai
kata itu, berarti ini bertentangan dengan pendapat mayoritas tokoh
Mu’tazilah. Sebab, jika dikatakan menghasilkan, berarti ada sesuatu yang
mendorong sesuatu itu dihasilkan. Jika dikatakan daya manusialah yang
menciptakan perbuatan, ini juga aga rancu, sebab Abd al-Jabbar juga
menyatakan daya itu bersifat baharu. Artinya daya juga diciptakan.
Namun, seandainya Abd al-Jabbar meyakini bahwa daya yang baharu itu
diciptakan oleh manusia bukan oleh Tuhan seperti yang dikatakan Harun
Nasution, kerancuan itu bisa hilang.
[10] Teologi Islam, hal. 103
[11] Dari Teologi Ke Ideologi, hal.
22 Kalimat wajib yang dipakai oleh Mu’tazilah telah menjebaknya kepada
pengurangan kehendak Mutlak Allah. Jika dikatakan “Allah wajib…” artinya
di sini Mu’tazilah telah memaksakan kategori manusianya sendiri di
atas Tuhan yang harus melakukan ini dan tidak melakukan itu. Padahal,
penurunan wahyu, petunjuk, aturan dan mengirim rasul-rasul-Nya adalah
merupakan rahmat dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala.
[12] Teologi Islam, hal. 103
[13] Gelombang Perubahan Dalam Islam, hal. 58
[14] al-Milal wa al-Nihal, hal. 58.
[15]Dari Teologi Ke Ideologi, hal. 23
[16] Ibid, hal. 104
[17] ibid, hal. 105
[18] Tafsir Tematik, hal. 62. Untuk mengetahui interpretasi Abd al-Jabbar terhadap ayat-ayat tersebut lihat Tafsir Tematik, hal. 64-65
[19] Teologi Islam, hal. 107. Kata “menuduh” dikutip langsung dari tulisan Harun Nasution.
[20] Ibid, hal. 107-8
[21] Ibid
[22] ibid, hal. 108-9
[23] ibid
[24] Ibid, hal. 111
[25] ibid, hal. 112
[26] al-Imam al-Hafidz ‘Imaad al-Din Abu al-Fida Isma’il bin Katsir al-Qaraisy al-Dimsyaqi, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, al-Juz al-Raabi’, Dar al-Jail, Bairut: 1411 H/1991 M, hal. 15
[27] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 78
[28] ibid, 78-79
[29] Dari Teologi ke Ideologi, hal. 26
[30] Teologi Islam, hal. 112
[31] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 87-8. kekuatan kedua yang diciptakan disini maksudnya adalah daya. Bandingkan dengan pemaparan Hasan Zaini, Op,Cit, hal. 67-68
[32] Teologi Islam, hal. 113
[33] ibid
[34] ibid
[35] Abu Hasan Isma’il al-Asy’ari, Tahqiq, Prof. Dr. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, I, Alih
Bahasa, Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat, Pustaka
Setia, Bandung: cet. 1, 1998, hal.101. selanjutnya disebut Prinsip-prinsip Dasar.
[36] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 89
[37] Prinsip-Prinsip Dasar, hal. 101-102
[38] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 89
[39] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, vol. 8, hal. 98-99, dikutip dari Fazlur Rahman, Op,Cit, hal. 211-12
[40] ibid, hal. 213
[41] Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 218
[42] ibid, hal. 220
[43] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, Dar al-Haq, Jakarta: 2003, cet. V, hal. 157-158
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu