KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAM
Oleh: Agus Setiawan dan Hendriyanto
Definisi Kepribadian
Definisi
deterministik menganggap kepribadian sebagai keadaan internal individu,
sebagai organisasi proses dan struktur di dalam diri seseorang:
"kepribadian adalah apa yang menentukan prilaku di dalam sesuatu yang
ditetapkan dan di dalam kesadaran jiwa yang ditetapkan".[1] Atau seperti yang dikemukakan oleh Allport, kepribadian terletak di balik individu; dan, "system yang menyusun kepribadian dalam segala hak adalah kecenderungan yang menentukan".[2]
Bila didefinisikan demikian, maka kepribadian adalah(1) seperangkat
kecenderungan kecondongan internal yang terorganisasi untuk berperilaku
dengan cara tertentu; (2) keberadaan tersendiri yang disimpulkan dari
perilaku, bukan yang langsung dapat diamati; (3) agak stabil dan
konsisten dalam perjalanan dalam waktu dan dipicu oleh rangsangan yang
fungsinya sepadan; (4) kekuatan yang menjadi penengah diantara
penghargaan seseorang kepada dunia dan kegiatan dalam dalam suatu
situasi; dan (5) membantu individu dalam menyaring realitas,
mengungkapkan perasaan, dan mengidentifikasikan diri kepada orang lain.
Unsur utama dalam definisi deterministik ialah pandangan bahwa kepribadian terdiri atas kecenderungan yang stabil untuk berperilaku bahwa kepribadian menyebabkan, atau setidak-tidaknya menerangkan, tetapnya tanggapan seseorang terhadap berbagai rangsangan.[3]
Bisa
disimpulkan bahwasannya kepribadian dalam psikologi adalah sesuatu yang
bisa menentukan tingkah laku manusia atau susunan daripada atauran
tingkah laku dalam pola respons yang konsisten.[4]
Karena dengan kita melihat tingkah laku manusia, maka kita akan
mengetahui kepribadiannya. Adapun kepribadian memiliki kesamaan dengan sikap (attitude). Dan sikap sendiri menurut ahli psikologi yaitu:
- Charles Bird mengartikan sikap sebagai suatu yang berhubungan dengan penyesuaian diri seseorang kepada aspek-aspek lingkungan sekitar yang dipilih atau kepada tindakan-tindakannya sendiri. Bahkan lebih luas lagi, sikap dapat diartikan sebagai predisposisi (kecenderungan jiwa) atau orientasi kepada suatu masalah, institusi dan orang-orang lain.[5]
- F. H. Allport berpendapat bahwa sikap adalah suatu persiapan bertindak/berbuat dalam suatu arah tertentu.[6]
Dibedakan adanya 2 sikap, yakni sikap individual dan sikap sosial.
Di contohkan misalnya seorang mahasiswa yang terpaksa mengikuti kuliah
dari dosen yang membosankan, menurut dorongan keinginannya ia
seharusnya meninggalkannya, (hal iini merupakan sikap
individual), akan tetapi mengingat norma kesopanan dia tetap duduk
mendengarkannya meskipun merasa tersiksa karenanya (hal ini termasuk sikap sosial). Dengan demikian maka sikap
merupakan suatu kecenderungan yang menentukan atau suatu kekuatan jiwa
yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang ditujukan kearah
suatu objek khusus dengan cara tertentu, baik objek itu berupa orang,
kelembagaan ataupun masalah bahkan berupa dirinya sendiri.[7]
Oleh karena sikap merupakan tendensi (kecenderungan) atau orientasi, maka ia dapat mengalami perubahan melalui pengalaman atau pendidikan.[8]
Sebagai bangsa yang berjiwa sosialistis-religius sikap
pribadi bangsa indonesia berkembang dalam ruang lingkup (pola)
sosialistis-religius dimana leit-line (garis hidup) yang menghubungkan
dengan khaliknya (garis vertikal) dan dengan masyarakatnya (garis
horizontal) merupakan frame or reference (kerangka dasar sikap dan pandangan) yang selalu berkembang secara harmonis. Dan untuk memperoleh frame or reference itu manusia mengalami perkembangan yang berada di dalam proses belajar secara individual (individual learning) dan belajar secara sosial (social learning). Antara individual learning dengan social learning
itu terjadi suatu perpaduan dalam rangka pembentukan pribadi manusia
sebagai anggota masyarakat, atau kelompok. Dalam hubungan inilah maka
berbagai faktor yang mempengaruhi proses kegiatan belajar tersebut perlu
mendapatkan perhatian dalam penetapan dan penerapan metode dakwah dan
penerangan agama oleh karena pada hakikatnya dilihat dari sudut
psikologi, dakwah dan penerangan agama itu adalah merupakan proses
belajar-mengajar yang diikat oleh adanya komunikasi sekurang-kurangnya
antara dua orang/pribadi sampai dengan antar kelompok. Juru dakwah/
penerangan agama adalah pengajar, sedang objek dakwah adalah pribadi
yang belajar yang diikat oleh minat (motif).[9]
Faktor-faktor
dimaksud menyangkut realitas kehidupan pribadi dan realitas lingkungan
di mana seseorang hidup. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Kemampuan
psikologis pribadi manusia adalah menjadi salah satu faktor penentu
bagi kelangsungan proses belajar mengenai segala ide/pikiran,
pengetahuan atau cita-cita yang dibawakan oleh juru dakwah/penerang
agama.
Dari kemampuan individual inilah timbul pelbagai kegiatan
belajar yang motifnya bagi masing-masing orang tidak harus sama, akan
tetapi dengan persamaan tujuan yaitu memuaskan kebutuhan hidup
individualnya.
Kemampuan psikologis manusia itu dapat terlihat
dalam perkembangan melalui pelbagai aspek yaitu antara lain: pembawaan,
pendidikan keluarga, pengalaman dalam pergaulan dengan masyarakat
sekitar, dan perpaduan antara pembawaan dan pengalaman yang diperoleh.[10]
- Pembawaan bagi setiap pribadi manusia adalah tidak sama disebabkan ole berbeda-beda unsur keturunan yang diperoleh dari orang tuanya, bahkan keturunan dari nenek moyang atau ras/sukunya.
- Pengaruh pendidikan keluarga bagi perkembangan kepribadian manusia adalah paling besar dibanding dengan pengaruh kelompok kehidupan lainnya dalam masyarakat.[11]
- Pengalaman dalam masyarakat sekitar baik dalam lingkungan sosial maupun kultural adalah termasuk faktor yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia.[12]
- Pengaruh lainnya adalah menyangkut proses pengembangan pribadi manusia berdasarkan pada prinsip konvergensi yakni suatu perkembangan yang bersifat dialektis (saling pengaruh mempengaruhi antara pembawaan dan pengalaman) atau prinsip interaksi antara kemampuan pribadi dengan pengaruh lingkungan baik berupa kelompok/masyarakat maupun kebudayaan.[13]
Susunan Kepribadian[14] dan Unsur-Unsur Kepribadian
Sigmund Freud, di dalam menganalisa pribadi manusia berpendapat bahwa pribadi manusia mempunyai 3 unsur kepribadian:[1]
1) Id/ nafsu
2) Ego/ Akal
3) Superego/ Qalbu
Id
adalah sumber segala naluri atau nafsu. Semuanya berada dalam alam
ketidak sadaran (bawah sadar). Tujuannya ialah pemuasan jasmaniah. Jadi
yang menjadi prinsip baginya ialah kesenangan. Dia tidak mengenal nilai,
terutama nilai moral, oleh karenanya ia disebut bersifat immoral.
Ego
ialah tempat di mana segala daya-daya yang datang dari Id maupun
superego dianalisa, dipertimbangkan, untuk kemudian ditiadakan atau
ditindakkan. Dia merupakan pihak pengontrol agar keseimbangan pribadi
seseorang tetap ada. Jadi di sini seseorang itu sadar terhadap
kemauan-kemauan Id atau seperego. Sebagai pengontrol, maka ia tak dapat
tidak memperhatikan dan memperhitungkan realitas dunia luar.
Superego
adalah sumber segala nilai, termasuk nilai moral. Di sini ia pun
sebagaimana Id, berada dalam alam bawah sadar. Hanya saja ia lebih
menuju ke arah prinsip kesempurnaan rohaniah. Karenanya ia bersifat
idiil.
Dalam diri seseorang yang berkepribadian sehat, ketiga
sistem kepribadian itu bekerja secara harmonis. Bila terjadi
pertentangan-pertentangan akibat dorongan Id ataupun Superego, sedangkan
Ego tak mampu mengatasi, maka akan hilang keseimbangan diri seseorang,
dan di situ akan lahir gejala-gejala abnormal.
Baik Id, ego dan superego, masing-masing mempunyai daya-daya pendorong yang disebut Cathexis. Sedangkan untuk Ego dan Superego juga memiliki daya penahan yang disebut anti-cathexis.
Daya-daya ini dapat pula disebut sebagai "kehendak". Kehendak inilah
yang mula-mula menimbulkan kegoncangan dalam keseimbangan pribadi, yang
menjelma dalam bentuk pertentangan.[2]
Skema Pribadi Menurut Sigmund Freud
Id
|
Ego
|
Superego
|
Naluri/instin/nafsu immoral
Prinsip kesenangan
Bawah sadar kejasmanian
Cathexis (pendorong)
Tingkah laku impulsif
Irasional (memaksa ego untuk melihat dunia seperti yang diinginkan)
|
Penimbang
Perinsip kenyataan
Sadar
Cathexis & anti Cathexis
Tingkah laku Zaklijk
Rasional
|
Dorongan moral
Prinsip kesempurnaan
Bawah sadar kerohanian
Cathexis &anti Cathexis
Tingkah laku idealistis
Irasional (memaksa egi untuk melihat dunia dalam bentuk yang seharusnya)
|
Reference:
@ Jalaluddin Rahmat, Komunikasi politik. PT. Rosda Karya Bandung. Cet.I 1989.
@ Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000
@ Drs. Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, Surabaya:Al-ikhlas
[1]Ibid, hal. 42
[2] Ibid, hal. 43
[1] Jalaluddin Rahmat, Komunikasi politik. PT. Rosda Karya Bandung. Cet.I 1989. hal 90
[2] Ibid. hal 90
[3] Ibid. hal 90
[4] Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000.hal. 123
[5] Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000.hal. 104
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 105
[10] Ibid
[11] Ibid, hal. 107
[12] Ibid, hal. 109
[13] Ibid, hal. 113
[14] Drs. Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, Surabaya:Al-ikhlas, hal. 53
numpang buka lapak gan..
ReplyDeleteKumpulan Makalah-Artikel-Proposal-Thesis-dll Terlengkap
jujur-Mudah-Murah
http://khasanahilmuu.blogspot.com/2013/08/makalah.html#
wahh baru tau saya ada konsep kepribadian gini, makasi infonya
ReplyDelete