URGENSI AKHLAQ AL-KARIMAH BAGI DU'AT
Oleh: Nizar A. Saputra dan Nur Ali Fikri
بنت
أبي بكر رضي الله عنهما قالت:كنت أنقل النوى من أرض الزبير التي أقطعه
رسول الله صلى الله عليه وسلم على رأسي، وهي مني على ثلثي فرسخ. وقال أبو
ضمرة، عن هشام، عن أبيه: أن النبي صلى الله عليه وسلم أقطع الزبير أرضا من
أموال بني النضير.
Artinya; Telah menceritakan kepada kami Mahmud
bin Gilan, telah menceritakan Abu Usamah, telah menceritakan kepada
kami Hisyam, dia berkata; “Bapakku telah mengabarkan kepadaku, dari Asma
binti Abi Bakar, semoga Allah meridhai keduanya, dia (Asma) berkata:
“Aku biasa memanggul biji-bijian dari tanah zubair yang diberikan
Rasulullah, di kepalaku (yang jaraknya) sepanjang dua pertiga farsakh.
Abu Dhamrah berkata dari Hisyam, dari bapaknya; “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan Zubair sebidang tanah dari
harta Bani al-Nadhir.
Hadits tersebut terdapat dalam Shahih al-Bukhari, dalam kitab al-Khumus, pada bab; ma kana li al-Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam yu’tha al-Muallafah Qulubahum wa ghairahum min al-Khumus wa nahwihi, no.58.[1]
Setelah
diteliti, hadits tersebut ternyata merupakan ringkasan dari hadits yang
panjang. Al-Bukhari mencantumkan hadits yang panjang ini dalam kitab al-Nikah, bab; al-Ghairah, no. 153.[2] Hadits yang panjang ini juga terdapat dalam musnad Ahmad bin Hanbal, no. 27.476.[3]
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits yang
pertama melalui jalur yang berbeda, yakni dari jalur Muhammad bin ‘Ubaid
al-Ghabary, dalam kitab al-Salam, bab; Jawaz irdaaf al-Mar’ah al-Ajnabiyyah Idza ‘Uiyat fi al-Thariq, no. 2182.[4]
Pelajaran Da’wah dari Hadits di atas
Rasulullah diberi berbagai keistimewaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satunya adalah jawami’ al-Kalam (perkataan yang memiliki makna yang luas). Terlepas dari interpretasi terhadap istilah jawami’ al-Kalam, memang
keistemawaan Nabi ini terbukti adanya. Kita bisa melihat dari betapa
luasnya pembahasan para ulama terhadap ucapan-ucapan Nabi. Padahal jika
kita tela’ah, perkataan Nabi itu tidak rumit, tidak berbelit-belit,
layaknya perkataan para filosof. Perkataan nabi itu rata-rata simple dan
sederhana. Namun, dari sifatnya yang simple dan sederhana tersebut,
keistemawaannya dapat dilihat. Simple namun padat dan bermakna. Jika
ditafsirkan, butuh beribu-ribu kertas, bahkan sampai jutaan, butuh
berapa juta liter tinta untuk menulisnya. Kita bisa melihat, berapa
banyak tinta dan kertas yang sudah dihabiskan oleh para ulama untuk
menafsirkan kata-kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perkataan
Nabi yang oleh ulama hadits dan ulama fiqih diistilah dengan al-Sunnah,
memang multi dimensi dan multi tafsir. Bagi ulama fiqih, sunnah nabi
akan selalu ditinjau dari aspek fiqih. Demikian pula dengan ulama
hadits, bagi mereka perkataan nabi harus ditafsirkan sebagai syari’at
yang jika menunjukkan perintah harus dilaksanakan. Dan jika menunjukkan
larangan, maka harus dijauhi.
Dalam hal ini, kami akan berusaha
untuk menganalisa perkataan (hadits) nabi di atas dari aspek da’wah. Ada
beberapa pelajaran dan faidah da’wah dalam hadits tersebut, di
antaranya;
- 1. Para da’I sejatinya memiliki sifat murah hati (al-Karam).
Bila
seseorang mengaku sebagai muslim, entah siapa saja dia, apa profesinya,
kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, sejatinya menjadikan Rasulullah
sebagai suri tauladan (uswah hasanah) dalam segala aspek kehidupan. Hal tersebut merupakan rumus mati bagi setiap orang yang mengaku dirinya pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan tegas al-Quran menyatakan
Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab: 21)
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya. (al-Hasyr: 7)
Jika demikian
halnya, maka bagi seorang da’i tentunya lebih dari itu. Da’i merupakan
pilar-pilar berdirinya agama Allah yang mulia ini. Seorang da’i
seharusnya menjadikan metode, manhaj Nabi Muhammad dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam hal da’wahnya, ibadahnya dan juga karakternya.
Meskipun untuk menjadi manusia yang begitu mirip seratus persen seperti
sosok Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bisa.
Namun, mengikuti nabi dalam hal-hal yang bisa kita lakukan merupakan
suatu keharusan, untuk tidak mengatakan sebuah kewajiban.
Dalam hadits yang jadi pokok bahasan ini, terlihat salah satu sifat Nabi yang mulia, yakni sifat murah hati (karam). Sebagaimana dikatakan al-Qahthani, murah hati (al-Karam) termasuk di antara sifat-sifat yang terpuji. Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disifati dengan sifat ini. Hadits ini menunjukan akan hal itu –sifat kemurahan hati Nabi– karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
sebidang tanah kepada Zubair. Inilah salah satu bukti sifat kemurahan
hati Nabi. Sejatinya, setiap muslim menjalani manhajnya dan menempuh
metodenya.[5]
Menurut Ibnu Hajar, tanah tersebut merupakan fa’I Allah atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Bani al-Nadhir.[6] Pada dasarnya, bisa saja tanah itu dimiliki sepenuhnya oleh Nabi. Akan tetapi, karena sifat Karam yang
dimiliki beliau, maka tanah tersebut sebagiannya diberikan kepada
Zubair bin Awwam. Tanah tersebut kemudian dimanfaatkan Zubair dengan
sebaik-baiknya.[7]
Sejarah
telah membuktikan, bagaimana da’wah Islam berhasil mengubah masyarakat
Jahiliyah saat itu dengan sosok Sang Nabi yang mempunyai sifat-sifat
mulia, salah satu diantaranya adalah sifat murah hati. Maka jika para
da’I ingin sukses dan berhasil seperti yang telah dilakukan Nabi, salah
satu komponen yang harus dimiliki adalah sifat murah hati (al-Karam).
- 2. Para da’i sejatinya memiliki sifat tawadhu dan kepekaan sosial.
Jika merujuk pada hadits panjangnya, nampak jelas ketawadhuan dan kebaikan akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
Asma binti Abi Bakar sedang membawa biji-bijian di atas kepalanya dari
tanah Zubair yang jauh dari rumahnya, Nabi menyapanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, kemudian menawari Asma untuk naik unta di
belakangnya. Ini salah satu bukti ketawadhuan (sikap rendah hati) Nabi
dan para sahabat. Mereka tidak tega melihat orang yang sedang dalam
kesusahan, dalam hal ini melihat Asma yang memanggul biji-bijian. Sikap
Nabi dan sahabat tersebut patut dijadikan contoh oleh du’at. Para da’I
sejatinya memiliki tawadhu terhadap orang lain.
Ada yang menarik di hadits ini. Kalau boleh penulis mengambil I’tibar, hemat penulis, hadits ini mengajarkan pada du’at untuk peka terhadap keadaan orang lain dan memahami fiqh al-Waqi’
(fiqih realitas). Inilah yang selama ini banyak dilupakan oleh para
kader da’wah. Da’wah hanya dipahami sebagai ceramah, ta’lim, dan yang
semisalnya. Sehingga, tuntutan yang ada adalah da’I harus pandai
berceramah, pandai menyampaikan ilmu dalam sebuah pengajian.
Padahal,
itu semua hanyalah alat dan metode da’wah, bukan tujuan da’wah. Tujuan
da’wah adalah merubah dan mengajak orang untuk senantiasa mengamalkan
amalan yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi yang dilarangNya. Ini
sangatlah penting dan harus disadari betul oleh para kader da’wah. Jika
itu sudah disadari, maka seorang da’I tidak hanya dituntut untuk bisa
berceramah, namun dia juga akan selalu berusaha melakukan apa saja yang
dapat mengajak orang lain untuk sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang
da’I ketika melihat seseorang dalam keadaan susah, dia harus peka dan
melakukan upaya untuk menolong dan memberi solusi. Kalaupun tidak bisa
turun langsung memberikan bantuan dan solusi, minimal bisa memberikan
pengaruh kepada para agniya (orang-orang kaya) untuk peduli dan
membantu fakir miskin, seperti pengemis dan pemulung, peduli terhadap
anak yatim dan sikap kepekaan sosial lainnya.
Dari kasus dan fakta
yang ada di lapangan, banyak para da’I yang tidak menyadari hal ini.
Kepekaan sosial justru dimiliki oleh para misionaris dan para aktivis
sosialis. Banyak saudara kita yang berada dalam kesusahan, kemudian
didekati oleh para misonaris dengan memberikan bantuan dan lain
sebagainya. Akhirnya, saudara kita itu menggadaikan aqidahnya. Kita
mungkin tidak habis pikir, mengapa mereka bisa menggadaikan aqidahnya
hanya dengan bantuan yang tidak begitu besar. Namun, di sinilah yang
harus disadari betul oleh para da’I, bahwa da’wah lebih efektif melalui
cara-cara seperti itu, bukan hanya dengan ceramah, ta’lim dan yang
semisalnya.
Pendekatan sosial akan lebih menyentuh perasaan dan hati mad’u. ini pula yang dulu dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berda’wah kepada Abu Bakar melalui pendekatan sosial. Bahkan dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, biasa
menyuapi wanita Yahudi yang buta. Setelah Nabi tiada, peran Nabi
kemudian digantikan oleh Abu Bakar. Melalui pendekatan sosial, akhirnya
wanita tersebut masuk Islam.
Realitas di lapangan, justru kita
sering melihat bagaimana aktivis sosialis begitu gencar dan semangatnya
melakukan pendekatan-pendekatan sosial terhadap kaum buruh. Mereka
sering memanfaatkan para buruh untuk menggapai tujuannya. Ironisnya,
para buruh yang didekati bisa begitu fanatik, bahkan militan terhadap
para aktivis sosialis tersebut. Tentunya, sikap fanatic –dalam
pengertian positif – dan militant tersebut akan lebih bagus jika
didekasikan untuk agamanya, Islam. Namun, kenyataannya tidaklah
demikian.
Fenomena tersebut bisa kita lihat di berbagai wilayah.
Bagaimana para buruh, pemulung, petani, lebih banyak didekati oleh para
sosialis. Sementara para da’I lebih sibuk dengan masyarakat menengah ke
atas. Lebih sibuk ceramah di masjid dan di rumah-rumah orang kaya yang
mengundangnya. Mungkin kita akan jarang menemukan da’I yang terjun
langsug memberikan ceramah di kawasan kumuh. Kita mungkin akan
mengatakan; “wajarlah kalau para da’I tidak melakukan hal seperti itu,
jangankan memikirkan orang lain, memikirkan keadaan keluarganya saja
begitu ketar-ketir, apalagi memikirkan para pemulung, para buruh dan
yang lainnya”.
Dalam hal ini, penulis pun setuju. Bahwa para da’I
masih begitu sibuk untuk mengurusi keluarganya, memang benar. Namun,
penulis ingin memberikan sebuah motifasi dan evaluasi bagi para da’I,
kalaupun para da’I tidak bisa terjun langsung memberikan bantuan dan
solusi terhadap kaum buruh, setidaknya memberikan materi-materi da’wah
yang memberikan perhatian khusus untuk memupuk rasa solidaritas terhadap
kaum buruh, sehingga ada orang lain, dalam hal ini adalah agniya (orang-orang
kaya), yang peduli terhadap kaum buruh, daripada saudara kita itu
menggadaikan aqidahnya. Selama ini, para da’I lebih banyak menyampaikan
materi tentang Aqidah dan ibadah dalam pengertian khusus (ibadah mahdhah).
Semantara masalah muamalah, khususnya yang berhubungan dengan
masyarakat kecil (kaum proletar; buruh, petani dan sebangsanya) tidak
terlalu diperhatikan. Hal ini kemudian memberikan image, bahwa ajaran
Islam tidak begitu peduli terhadap nasib kaum proletar.
- 3. Urgensi sifat malu bagi para da’i
Kalau diperhatikan dalam hadits panjangnya, terdapat redaksi; فاستحييت أن أسير مع الرجال (aku malu berjalan bersama para lelaki). Artinya, dalam hadits ini diterangkan mengenai rasa malu yang dimiliki oleh shahabiyah, Asma binti Abi Bakar.
Tidak
diragukan lagi, bahwa sifat malu sangatlah penting, khususnya bagi
wanita. Hadits ini menunjukkan keagungan sifat malu Asma binti Abi
Bakar. Saat Rasulullah berhenti dari perjalanannya menawarkan Asma binti
Abi Bakar naik dibelakangnya, Asma merasa malu dan tidak naik. Asma
berkata: “Aku malu berjalan bersama para lelaki”.[8]
Malu
adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela atau menahan diri
dari mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya karena khawatir mendapat
cacian, maka seruan untuk berakhlak dan berpegang teguh dengannya adalah
seruan untuk meninggalkan semua kemaksiatan dan kejahatan. Di samping
itu, malu adalah salah satu sifat kebaikan yang disukai oleh manusia.
Mereka melihat bahwa ketiadaan sifat malu adalah kekurangan dan aib,
sebagaimana juga malu merupakan tanda dari kesempurnaan iman.[9] Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
حدثنا
عبد الله بن محمد قال: حدثنا أبو عامر العقدي قال: حدثنا سليمان بن بلال،
عن عبد الله بن دينار، عن أبي صالح، عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: (الإيمان بضع وستون شعبة، والحياء شعبة من الإيمان)
Telah menceritakan keapda kami ‘Abdullah bin Muhammad, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir al-‘Aqdiyyi,
dia berkata, Sulaiman bin Bilal telah menceritakan keapda kami, dari
Abdullah bin Dinar, dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah, semoga Allah
meridhoinya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda; iman itu berlipat-lipat dan memiliki enam puluh cabang,
dan (sifat) malu itu salah satu bagian cabang iman. (Hr. al-Bukhari, kitab al-Iman, bab; Umur al-Iman, 1/10, no. 9)
Bagi
da’I, tentunya sifat malu harus dipupuk dan dijaga betul serta
dipelihara agar tidak hilang dari jiwanya. Malu mencerminkan keagungan
akhlak seseorang. Seorang yang masih mempunyai sifat malu, tentunya akan
selalu berfikir dengan penuh pertimbangan, jika dalam dirinya terbersit
pikiran untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang nantinya dinilai aib
oleh masyarakat. Sebagaimana sama-sama kita ketahui, biasanya rasa
simpati dari masyarakat akan hilang, bahkan akan antipati terhadap
seseorang, jika selama hidupnya, orang tersebut pernah melakukan
perbuatan yang dianggap aib. Meskipun, misalnya, perbuatan aib tersebut
hanya dilakukan sekali, namun masyarakat akan selalu mengingatnya terus.
Mungkin
dalam diri kita terbersit pertanyaan, “Apa relevansinya Da’I, Da’wah,
Malu dan perbuatan aib di masyarakat?” Secara sepintas, memang aga rancu
(confusion) tentang tiga hal tadi, namun jika kita tela’ah
secara seksama, dalam tiga hal tersebut terdapat relevansi yang begitu
signifikan. Orang yang punya rasa malu, kemungkinan besar tidak
terperosok untuk melakukan hal-hal yang dianggap melanggar norma-norma
masyarakat. Sebaliknya, orang yang dalam dirinya sudah tidak ada lagi
sifat malu, dia akan melakukan hal apa saja, yang penting dapat
memuaskan dirinya. Dia tidak akan berfikir, apakah ini akan berpengaruh
terhadap anggapan masyarakat kepada dirinya atau tidak.
Jika
seorang da’I memiliki rasa malu yang begitu besar, sesuai dengan yang
diperintahkan agama, maka masyarakat akan mempunyai simpati terhadapnya.
Dan jika masyarakat sudah simpati, maka kelangsungan da’wah akan
semakin mudah. Masyarakat akan dengan mudah digiring kepada apa yang
kita inginkan. Namun, yang harus disadari betul, ketika masyarakat sudah
simpati dan dengan mudah digiring sesuai dengan ajakan kita, seorang
da’I harus tetap ingat, bahwa dia mengajak kepada Allah (da’wah ilallah).
Jangan sampai kepentingan-kepentingan pribadi masuk dalam aktivitas
da’wah. Mengenai sifat malu ini, Rasulullah pernah bersabda;
عن أبي مسعود عقبة بن عمرو الأنصاري البدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنّ مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى إذا لم تستحي فاصنع ماشئت.
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri, dia berkata; Rasullah bersabda; “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah, ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.( Hr. al-Bukhari, kitab al-Anbiya wa al-Adab, bab; idza lam tastahyi, fashna’ maa Syi’ta, no. 5769)
Dari
redaksinya, hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu merupakan semisal
protektif terhadap prilaku kesewenang-wenangan. Karena itu, sifat malu
memang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang da’I, guna kelancaran
da’wahnya.
- 4. Sejatinya, para da’i senantiasa menghidupkan silaturahmi
Hadits
ini menunjukan bahwa silaturahmi termasuk salah satu sifat terpuji.
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Abu Bakar berbuat baik kepada anaknya,
Asma binti Abi Bakar dengan mengirim pelayan kepadanya untuk mengurus
kuda dan segala keperluannya. Dalam hadits ini Asma berkata; حتى أرسل إلى أبو بكر بعد ذلك بخادم فكفتني سياسة الفرس فكأنما أعتقني. Menurut
al-Qahthani, ungkapan Asma tersebut mempertegas anjuran untuk tolong
menolong melalui silaturahmi dan selalu menyambungnya.
Memang,
secara tegas hadits ini tidak memberikan gambaran kepada kita relevansi
silaturahmi dengan da’wah. Padahal tidaklah demikian. Silaturahmi
termasuk salah satu yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah. Dalam
beberapa ayat dan hadits, dapat diketahui betapa penting dan agungnya
silaturahmi ini. Allah melaknat orang-orang yang memutuskan silaturhami.
Selain itu, orang yang memutuskan silaturahmi tidak akan masuk surge.
Sebaliknya, Allah dan Rasulullah menjanjikan sesuatu yang luar biasa
bagi mereka yang selalu menghidupkan silaturahmi. Dipanjangkan umur,
dimudahkan rizki merupakan pahala yang dijanjikan Rasulullah kepada
kita.
Maka apakah kiranya jika kamu
berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan
hubungan kekeluargaan? Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah
dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (Qs. Muhammad; 22-23)
حدثني إبراهيم بن المنذر: حدثنا محمد بن معن قال: حدثني أبي، عن سعيد ابن أبي سعيد، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (من سره أن يبسط له في رزقه، وأن ينسأ له في أثره، فليصل رحمه).
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (من سره أن يبسط له في رزقه، وأن ينسأ له في أثره، فليصل رحمه).
Telah
menceritakan Ibrahim bin al-Mundzir, telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ma’an, dia berkata; Bapaku telah bercerita kepadaku, dari
Sa’id Ibnu Abi Sa’id, dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, dia
berakta, Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda; “Siapa yang ingin diluaskan dalam rizqinya dan dipanjangkan
umurnya, hendaklah bersilaturahmi. (Hr. al-Bukhari, kitab al-Adab, bab; man basatha lahu fi al-Rizqi bi shilah al-Rahmi, no. 5639)
Apa relevansinya dengan da’wah? Kewajiban da’wah yang pertama kali, sebagaimana dulu dipikul Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah keluarga. Sebelum berda’wah kepada orang lain, maka prioritas utama adalah keluarga.[10]
Da’wah kepada keluarga bukanlah hal yang mudah. Bercermin kepada
sejarah Rasul, ternyata yang pertama kali menolak da’wahnya adalah pihak
keluarganya, bukan orang lain. Da’wahnya justru diterima oleh kalangan
di luar keluarganya. Meskipun demikian, Rasulullah tetap saja dengan
sabar dan penuh semangat menda’wahi keluarganya. Salah satu upaya yang
dilakukan Nabi agar da’wahnya bisa terus berjalan adalah dengan tetap
menjalin hubungan baik, silaturahmi dengan keluarganya. Hal ini sangat
penting dilakukan. Sebab, bagaimana bisa berda’wah kepada keluarga jika
hubungan kekeluargaannya tidak terjalin. Maka di sini, peran silaturahmi
sangat penting bagi para du’at.
Banyak da’I yang begitu semangat
berda’wah kepada orang lain, sementara keluarganya masih berada dalam
gelimang dosa. Biasanya, keadaan tersebut terjadi karena hubungan
kekeluargaan di antara mereka tidak terjalin dengan bagus. Sehingga
untuk berda’wah terhadap kerabat dekat (keluarga) begitu susah. Maka
menjaga, menyambungkan silaturahmi sangat berpengaruh sekali terhadap
kelangsungan dan keberhasilan da’wah seseorang terhadap keluarganya.
- 5. Urgensi dan kedudukan sifat jujur atau tulus (ikhlas) bagi para da’i
Dalam hadits panjangnya, ada ungkapan Asma binti Abi Bakar;
وكان يخبز لي جارات من الأنصارى, وكنّ نسوة صدق
Para tetangga wanita dari golongan Anshar, membuatkan roti untukku. Mereka wanita-wanita yang begitu tulus.
Ungkapan
Asma tersebut merupakan sebuah ungkapan penghargaan terhadap kaum
Anshar yang telah membantunya. Kita bisa melihat, betapa Asma merasa
tersentuh hatinya oleh perlakuan para tetangganya tersebut.
Kalau boleh menganalogikan, katakanlah Asma sebagai mad’u dan tetangganya sebagai da’I. Sikap
yang diperlihatkan oleh para tetangga Asma –dalam hal ini kita
analogikan sebagai da’I– telah membuat simpati Asma binti Abi Bakar
–dalam hal ini kita analogikan Asma sebagai mad’u. Maka betapa
pentingnya sifat jujur dan tulus bagi da’i. Dengan kejujuran dan
ketulusan, seseorang bisa tersentuh hatinya untuk kemudian mengikuti apa
yang diseru oleh seorang da’i.
Seorang da’I, sejatinya harus
memiliki sifat seperti para tetangganya Asma binti Abi Bakar supaya
timbul kepercayaan dari masyarakat yang dida’wahinya. Jika masyarakat
sudah begitu percaya terhadap seorang da’I, maka dapat dipastikan,
proses da’wah akan semakin mudah. Apa yang diserukan oleh si da’I, akan
dituruti dan dilaksanakan oleh masyarakat. Namun, sebaliknya, jika
seorang da’I sudah tidak jujur dan tulus (ikhlas), masyarakat
tidak akan lagi menghargainya. Bagaimana mau mengajak masyarakat kepada
kebaikan, sementara dirinya masih diliputi dengan sifat dusta. Rasullah
pernah bersabda;
عن ابن مسعود رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : عليكم بالصدق, فإنّ
الصدق يهدي إلى البرّ, وإنّ البرّ يهدي إلى الجنّة, ومايزال الرجل يصدق
ويتحرّى الصدق حتى يكتب عند الله صدّيقا, وإيّاكم والكذب, فإنّ الكذب يهدي
إلى الفجور, وإنّ الفجور يهدي إلى النار, ومايزال الرجل يكذب ويتحرّى الكذب
حتى يكتب عند الله كذّابا. متفق عليه
Dari Ibnu Mas’ud, semoga Allah meridhainya, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, bersabda; hendaklah kalian mempunyai sifat jujur, karena
sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada kebaikan, dan
kebenaran itu akan mengantar (membawa) ke surga. Tidaklah senantiasa
seseorang itu jujur dan mengusahakan kejujuran kecuali dicatat di sisi
Allah sebagai sebuah kejujuran. Dan jauhilah oleh kalian al-Kadzab
(sifat dusta), karena sesungguhnya kebohongan itu akan mengantarkan
kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan mengantarkan ke
neraka, dan tidaklah senantiasa seseorang itu berdusta dan mengusahakan
kedustaan, kecuali dicatat di sisi Allah sebagai kedustaan. (Mutafaq‘alaih)
- 6. Para da’I sejatinya mempunyai etika dan adab yang mulia
Di dalam hadits yang panjangnya, terdapat perkataan nabi; إخ إخ. Menurut Ibnu Hajar, itu adalah kalimat yang berat untuk unta bagi orang yang hendak menderumkannya (menghentikannya).[11] Hal senada juga disebutkan oleh Muhammad Munir al-Dimsyiqi. Menurutnya, إخ إخ, adalah kalimat yang berat untuk menderumkan unta.[12]
Di
sini kita lihat, betapa Nabi Muhammad memiliki etika dan adab yang
agung. Sebelum menyapa Asma binti Abi Bakar, nabi terlebih dahulu
menghentikan untanya. Bila Nabi Muhammad saja, yang mempunyai kedudukan
yang mulia, bersikap begitu ramah dan sopan terhadap Asma, apalagi kita.
Seorang da’I harus mempunyai etika dan adab yang mulia ketika menyapa
dan berinteraksi dengan orang lain seperti yang telah dicontohkan Nabi
terhadap Asma binti Abi Bakar.
Kalau boleh penulis mengumpakan nabi sebagai da’I, sementara Asma binti Abi Bakar sebagai mad’u, maka dapat diambil istinbath (kesimpulan)
bahwa seorang da’I tidak perlu merasa gengsi, merasa dirinya da’I,
sehingga harus disapa terlebih dahulu oleh orang lain. Dalam hadits ini,
justru Rasulullah yang menyapa Asma binti Abi Bakar. Tidak ada sifat
gengsi dan sombong dalam diri Rasulullah. Meskipun beliau seorang Rasul
yang memiliki kedudukan mulia, namun beliau yang menyapa terlebih dahulu
kepada Asma binti Abi Bakar.
Terkadang kita mendapatkan seorang
da’I yang begitu angkuh dan egois. Karena merasa dirinya da’I, setiap
kali berpapasan dengan orang lain, apalagi dengan Jama’ahnya, tidak mau
menyapa duluan. Dia akan menyapa jika disapa terlebih dahulu oleh orang
lain atau oleh jama’ahnya. Apabila dalam diri seorang da’I terdapat
sifat buruk seperti itu, dapat dipastikan sosok sebagai da’inya akan
mulai luntur. Bisa jadi, dia akan hancur dengan sikapnya tersebut. Jika
sosok seorang da’I sudah mulai luntur karismatiknya, maka da’wahnya akan
terhambat.
- 7. Seorang da’I sejatinya mendidik keluarganya untuk hidup rukun dengan tetangganya
Dalam
hadits yang panjangnya, dijelaskan bagaimana interaksi sosial Asma
binti Abi Bakar, selaku istri Zubair dengan para tetangganya. Fiqih
Da’wah dari hal tersebut adalah seorang da’I harus berusaha menjalin
hubungan harmonis dengan para tetangganya. Tidak hanya da’I, namun
keluarganya pun, mulai dari istri sampai kepada anak-anaknya, harus
menjalin hubungan yang harmonis dengan tetangganya.
Adalah ironis,
jika seorang da’I tidak begitu bersahabat dengan tetangganya. Kepada
khalayak ramai dia menganjurkan untuk berbuat baik, sementara dia dan
keluarganya sendiri tidak bersahabat dengan tetangganya. Ada banyak
hikmah jika seorang da’I mempunyai hubungan harmonis dengan tetangganya.
Dalam hadits itu dijelaskan bagaimana Asma binti Abi Bakar mendapat
bantuan dan pertolongan dari para tetangganya. Nah, seorang da’I dan
keluarganya dengan segala kekurangannya, suatu saat pasti membutuhkan
pertolongan dan bantuan dari orang lain. Kalau bukan dari tetangga
dekat, siapa lagi?
Menjalin hubungan baik dengan tetangga sangat
dianjurkan al-Quran dan al-Sunnah. Banyak ayat dan hadits yang
memerintahkan hal tersebut. diantaranya;
… dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh... (Qs. Al-Nisa: 36)
Dari
Abu Hurairah, dia berkata; Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda; Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
muliakanlah (hormatilah) tetangganya. (al-Bukhari)
[1] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, al-Maktabah al-Tsaqafiyah, Bairut, tt, Jilid II, Juz IV, hal. 204
[2] Ibid, Jilid IV, Juz VII, hal. 63
[3] Al-Imam al-Hafidz Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bait al-Afkar al-Dauliyah li al-Nasy wa al-Tauzi’, Riyad: 1419H/1998M, hal. 2002
[4] Lihat CD. Mausu’ah al Hadits al Syarief
[5] Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Fiqh al-Da’wah fi Shahih al-Imam al-Bukhari, Riyad: 1421 H, Juz II, cet. I, hal. 978
[6] Syihabuddin Abi al-Fahl al-‘Asqalani, Fath al-Bari’ bi Syarh al-Bukhari, Juz VII, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babiyy al-Halabiyy wa Auladihi, Mesir; 1378H/1959M, hal. 64
[7]
Dalam hal ini juga terdapat fiqh al-Da’wah bagi para da’I. hendaknya
para da’i mempunyai instink dan naluri yang kuat dalam memberikan
sesuatu amanat yang berupa barang atau harta, agar pemberian tersebut
tidak salah kaprah dan diberi kepada yang berhak dan bisa mengelola atau
memanfaatkan barang pemberian. Ini sangat penting untuk dimiliki oleh
seorang da’I, terutama jika dia dijadikan tokoh masyarakat yang
diberikan kepercayaan untuk mengatur semua permasalahan, termasuk
masalah kebijakan memberikan amanat berupa barang atau harta berharga
kepada masyarakat.
[8] Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Loc,Cit.
[9] Dr. Musthafa Dieb al-Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu, al-Wafi; Syarah Hadits Arba’in Imam An-Nawawi, terj, Iman Sulaiman, Lc, Pustaka al-Kautsar, Jakarta: 2007, cet. II, hal. 173.
[10] Lihat Qs. Al-Tahrim; 6
[11] Ibnu Hajar, Op,Cit, Juz XI, hal. 236
[12]
Lihat catatan kaki Muhammad Munir al-Dimsyiqi dalam kitab Imam Abi
Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, al-Maktabah al-Tsaqafiyah, Bairut, tt, Jilid VI, Juz VII, hal. 63
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu