Chat

MEMAHAMI MANHAJ SALAF

Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa yang dimaksud generasi salaf adalah mereka yang hidup sebagai generasi pertama ummat yang terdiri dari para shahabat, tabi’in serta para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun terbaik yang dimuliakan. Para ulama lain menambahkan, mereka adalah orang-orang yang dikenal betul keimanan dan keutamaannya, serta keittibaannya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul Karim al-‘Aql dalam
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqidah. Maka secara umum, definisi salaf tidak akan pernah lepas dari pembicaraan seputar shahabat, shahabat dan tabi’in atau shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Hal ini sesuai dengan kesimpulan yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Hadi al-Mishri dalam Ma’alimul Inthilâqatil Kubra Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai berikut:
Setiap definisi yang disandarkan kepada salaf, maka tidak lepas dari generasi shahabat, shahabat dan tabi’in, atau shahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka yang terdiri dari imam-imam yang diakui keutamaannya serta mengikuti kitabullah dan sunnah nabiNya”. (Abdul Hadi al-Mishri, hal. 51)

Mengapa Harus Shahabat Dan Pengikutnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat merujuk kepada atsar shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad:
“Barang siapa hendak menjadikan tauladan, teladanilah para shahabat rasulullah saw., sebab mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka mengada-ngada), paling lurus petunjuknya dan paling baik perilakunya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani nabiNya dan menegakkan agamaNya. Karena itu, hendaklah kalian mengetahui keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada diatas jalanNya yang lurus.” (Abdul Hadi al-Mishri, hal. 31)
Maka, sesuai dengan makna bahasa (lughawi), salaf memiliki pengertian ‘nenek moyang yang lebih dahulu dan utama’, sebagaimana Ibnu Manzhur menjelaskan dalam kitabnya Lisânul ‘Arab. Adapun kaitannya dengan shahabat, karena merekalah orang-orang yang lebih dahulu memahami Islam dan memiliki keutamaan.

Manhaj Salaf Adalah Manhaj Islam
Dalam membicarakan manhaj salaf, tentu tidak lepas dari pembahasan manhaj Islam secara keseluruhan, dimana keduanya tidak dapat dilepaskan dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri. Dengan mengacu kepada dalil agama (QS. Al-Maidah/ 5: 3) yang menyebutkan agama telah sempurna dan Q.S. Ali Imran/ 3: 85 yang menegaskan hanya Islam agama yang diridhai. Maka Islam memiliki karakteristik sebagai berikut: sumber yang senantiasa mengacu kepada wahyu (rabbaniyatul mashdar) baik al-Qur`an maupun as-Sunnah, universal dan integral dalam semua urusan kehidupan di dunia dan akhirat (syâmil), diutusnya rasulullah untuk sekalian manusia (kaffah) dengan membawa kabar gembira (basyiran) dan kabar ancaman (nadzîran) dan Islam merupakan agama pertengahan dalam ‘aqidah, ibadah, undang-undang dan moral (wasathiyah bainat tafrith wal ifrath; adil di antara sikap ekstrim dan sikap berlebihan). Dengan demikian, manhaj Islam sering dikatakan manhaj pertengahan. (lihat DR. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Al-Wasathiyah fil Islam Ta’rif wa Tathbîq)

Disamping Islam memiliki manhaj pertengahan (Q.S. al-Baqarah/2:85), Islam pun memiliki ajaran dengan maksud dan tujuan agama yang jelas (al-ghâyah al-wâdhihah) serta aturan yang jelas pula. Keduanya bersandar kepada dua hadits rasulullah saw. yang sangat populer:
Pertama “Innamal a’mâlu bin niyyât wa innama likullimriin mâ nawâ”, bahwasanya amalan-amalan itu tergantung pada niat, dan bagi setiap orang tergantung apa yang diniatkannya. (H.R. Muslim 3/1515)
Kedua: “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunâ fahuwa raddun”, barang siapa beramal tanpa ada contoh dari kami, maka amalannya tertolak”. (H.R. Muslim 3/1344)
Yang pertama berhubungan dengan maksud (maqâshid), dan yang kedua berhubungan dengan aturan yang wajib diikuti (mutâba’ah).

Berkata sebagian ulama salaf:
“Perbuatan apa saja sekalipun kecil, akan berserakan, melainkan berkumpul padanya dua pertanyaan:  “lima fa’alta?” (mengapa engkau lakukan begitu?) dan “kaifa fa’alta?” (bagaimana engkau melakukannya?). Yang pertama bertanya tentang alasan mengapa perbuatan itu dilakukan, apakah dorongan itu muncul karena ibadah ataupun datang tiba-tiba. Yang kedua bertanya bagaimana cara melakukan ibadahnya itu.” (Ibnu Qayyim, Ighâtsatul lahfan dalam al-Wasathiyyah, hal. 27)

Menyimak apa yang dijelaskan tersebut dan hubungannya dengan manhaj salaf, bahwa pemahaman agama mereka (kaum salaf) tidak dapat keluar dari dua persoalan yang tidak dapat dipisahkan antara i’tiqadiyyah dengan amaliyyah (meminjam bahasa DR. Shalih bin Fauzan) atau at-talâzum bainas syari’ah wal ‘aqîdah, terpadu antara ‘aqidah dengan syari’ah (meminjam istilah  DR. Abdul Karim al-‘Aql). (lihat ‘Aqîdatut Tauhîd, hal. 5 dan kitab Ad-Dînu kulluhu lillâh)
Dengan demikian, apa yang menjadi dasar pijakan mereka dalam manhaj agamanya adalah sama, baik manhaj syari’ahnya ataupun manhaj ‘aqidahnya. Karena dalam pandangan mereka apabila pandangan ‘aqidah seseorang benar, maka harus benar pula pandangan ibadahnya, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, telah banyak buku-buku para ulama yang menerangkan tentang manhaj mereka, yang semuanya hampir tidak dapat melepaskan titik tolaknya adalah dari ‘aqidah, misalnya Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah oleh DR. Nashir Abdul Karim al-‘Aql , Mashâdirul Istidlâl ‘Alâ Masâilil I’tiqâd oleh Utsman ‘Ali Hassan dan Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf oleh DR. Abdul Muhsin at-Turki.
Dalam kaidah-kaidah fiqihnya, misalnya Qawâid Fiqhiyyah Imam as-Sa’di, Maqâshid Syari’ah ‘inda Ibni Taimiyyah oleh DR. Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, ad-Duratul Bahiyyah fit Taqlîd wal Madzhabiyyah min Kalâmi Syaikhil Islâm Ibni Taimiyyah oleh Muhammad Syâkir as-Syarîf dan lain-lainnya. Ini semua merupakan kitab-kitab baru. Tentu saja kitab-kitab lama sebagai sumber primer jauh lebih banyak dan luput dari penggalian para penuntut ilmu.

Sekedar mengetahui gambaran umum dari pemahaman manhaj salaf ini, dapat dilihat dalam pokok-pokok ajaran dakwah salafiyyah yang dikemukakan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagai berikut;
selalu mengikuti kitabullah dan komitmen terhadap sunnah nabiNya, menjauhkan bid’ah, mengedepankan tauhid, menuntut ilmu yang bermanfa’at, melakukan tashfiyyah (pensucian jiwa) dan tarbiyyah (menghidupkan ilmu), menjauhi fanatik hizbi (golongan) dan jumud dalam bermadzhab, menghidupkan alam pikiran Islam yang benar dengan merujuk kepada kitabullah dan sunnah serta amalan salaful ummah. (‘Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 22)
Maka bila dicermati dari pengertian manhaj atau minhaj (artinya: jalan yang terang), Allah ‘Azza wa jalla menuliskannya dalam al-Qur`anul karim secara beriringan dengan kata syir’ah (artinya: ajaran) yakni “likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhâjan”, bagi tiap-tiap ummat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Q.S. Al-Maidah/5: 48)
Ar-Raghib al-Asbahani menjelaskan dalam mufradatnya dengan menukil pendapat Ibnu ‘Abbas ra. bahwa kata syir’ah mengandung makna semua yang dibawa al-Qur`an, sedangkan minhaj adalah semua yang dibawa as-Sunnah. (lihat Ali Abdul Halim Mahmud dalam Nahwa Manhaj Buhuts Islami)
Dengan demikian, disebut manhaj salaf adalah metode memahami al-Qur`an dan as-Sunnah (sumber ajaran Islam) berdasarkan pemahaman salaful ummah.

Salafi dan Salafiyyah
Muncul sebuah pertanyaan, bolehkah seseorang menyebut dirinya atau menyebut orang lain dengan istilah ‘Salafi’? Demikian pula dengan sebutan ‘Salafiyyah’ untuk menunjukkan aktifitasnya?
Dalam hal ini, para ulama berkomentar:

·         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Beliau mengatakan: “Tidak tercela madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab itu, bahkan wajib menerima hal itu dengan sepakat, karena tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, 4/149)

·         Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Beliau pernah ditanya: bagaimana pendapat anda tentang orang yang menamakan dirinya ‘salafi’, apakah ini termasuk memuji diri?. Beliau menjawab:
“Apabila dia benar-benar ‘pengikut atsar’ atau seseorang yang ‘mengikuti manhaj salaf’ tidaklah mengapa seperti halnya para ulama salaf terdahulu mengatakan: si fulan bermanhaj salaf (salafi), si fulan memegang teguh atsar (atsari). Ini adalah pujian yang harus.” (dikutip oleh Syaikh Shalih Fauzan, hal. 13-14)
·         Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid
Beliau mengatakan: “Jadilah engkau orang yang berpegang dengan madzhab salaf yang mengikuti jejak pendahulunya yang shaleh dari para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dalam semua permasalahan agama seperti tauhid, ibadah dan yang lainnya.” (Abu Zaid, Hilyah Thâlibil Ilmi, hal. 12)

·         Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Beliau mengatakan: “Menisbatkan diri dengan ‘Saya Muslim’ atau ‘Madzhabku Islam’ tidaklah cukup. Karena semua firqah –zaman ini- sudah terang-terangan mengatakan: “saya seorang rafidhah atau syi’ah, saya seorang ibadhiyah (salah satu sekte Khawârij), saya seorang qadyaniyah (penganut ahmadiyyah qadyan) dan lain-lain. Lalu manhaj apa yang akan menjadi keistimewaanmu dari mereka?. Kalau engkau katakan: saya seorang muslim yang berpegang teguh terhadap kitabullah dan sunnahnya saja, belumlah cukup, karena golongan-golongan semisal ‘Asy’ariyah, Maturidiyyah dan golongan-golongan lainnya meninggalkan dua pokok pijakan tersebut. Maka tidak ragu lagi sesungguhnya penamaan yang bagus, jelas dan tegas, kita katakan: “saya muslim yang berpegang kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mengikuti manhaj salafus shâlih. Diringkas menjadi: “saya seorang salafi.” (Amr Abdul Mun`im, al-Manhaj as-Salafi inda as-Syaikh Nashîruddin al-Albani, hal. 21)

Adapun salafiyyah, kita nukilkan pandangan Muhammad Nashiruddin al-Albani bersama muridnya Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilaly, yaitu:

·         Salafiyyah adalah nisbat kepada salaf, dan ini adalah penisbatan terpuji kepada manhaj yang benar dan bukanlah manhaj baru yang dibuat-buat. (lihat buku limadza ikhtartu al-Manhaj as-Salafi dalam Amr Abdul Mun`im, hal. 17)
Namun pandangan dimaksud mendapatkan kritikan dari tokoh lainnya, diantaranya DR. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya “Assalafiyyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubârakatun lâ Madzhabun Islâmiyyun”; Salafiyyah Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab.

Diantara kritikannya adalah: mengklaim adanya madzhab baru yang disebut madzhab salaf adalah bid’ah; sekiranya ada keharusan untuk menisbatkan diri dengan sebutan ‘salafiyyin’ maka tentu saja kalimat ‘shahabiyyin’ lebih shahih atau ‘rasyidiyyin’ lebih memiliki hujjah sesuai dengan sabdanya: “ikutilah sunnahku dan sunnah khulafâur rasyidin”. Beliaupun mengatakan: tidak ditemukannya dalam sejarah, bahwa para ulama menjadikannya standar kebenaran itu dinisbatkan kepada madzhab yang disebut ‘madzhab salafiyah’ hari ini, beliaupun mengaitkan kemunculan madzhab ini dengan kemunculan kaum pembaharuan di Mesir yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada masa penyerahan kemerdekaan dari Inggris. Menurutnya, gerakan inipun ada titik temunya dengan gekaran wahabi di Nejed, sehingga ‘salafiyyah’ menjadi kata yang dipilih dalam menempuh gerakan pembaharuan dengan perbandingan selalu mengumandangkan syi’ar (keagungan) Islam dan mengagumi atas kepahlawanan generasi ummat Islam periode awal. (lihat al-Buthi, hal. 272-301)

Berikutnya, bantahan balikpun muncul dari Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali dengan membawakan hadits rasulullah saw:
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang kaum yang kesaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (Tajrîdus  Sharih, Matan al-Bukhari 2/288)

Nampaknya, Syaikh Salim al-Hilâli keberatan dengan pandangan al-Buthi yang menyebutkan salafi sebuah fase sejarah saja (marhalah zamaniyyah) bukan madzhab. Menurutnya, periodesasi yang dimaksud adalah para shahabat yang mengikuti kitabullah dan sunnah nabiNya bukan sembarang orang yang hidup dalam periode ini dari kelompok-kelompok sesat yang telah muncul di zaman-zaman tersebut, melainkan orang-orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj diatas pemahaman rasulullah saw. dan para shahabatnya. Oleh karena itu para ulama mengaitkan istilah ini dengan As-Salafus Shalih.
Masih menurutnya, beliau menafikan orang-orang yang menyangka bahwa salafiyyah adalah perkembangan baru dari jama’ah islamiyyah yang baru, yang melepaskan diri dari lingkungan jama’ah islam yang satu dengan mengambil untuk dirinya satu pengertian yang khusus dari makna nama ini saja sehingga berbeda dengan kaum muslimin yang lainnya dalam masalah hukum, kecenderungan-kecenderungan bahkan tabi’at dan norma-norma etika.
Mengenai kaitannya dengan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, hanyalah rekaan prasangka salah satu kaum yang tidak menyukai kata yang baik yang penuh barakah ini, dimana didalamnya mengandung dakwaan yang salah, diantaranya:
1.       Gerakan yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh bukanlah salafiyah, melainkan gerakan aqliyah khalafiyah dimana mereka menjadikan akal sebagai penentu dari pada naql.
2.       Banyaknya penelitian seputar hakikat al-Afghani yang banyak memberikan syubhat (keragu-raguan), membuat orang was-was dan berhati-hati darinya.
3.       Bukti-bukti sejarah telah menegaskan seputar keterpedayaannya dengan gerakan Masoni.
4.       Pengkaitan as-Salafiyah dengan gerakan al-Afghani dan Muhammad Abduh adalah tuduhan jelek terhadapnya walaupun secara tersembunyi dari apa yang telah dituduhkan mereka kepadanya dari keterikatan dan motivasi yang tidak jelas. (lihat Mengapa Memilih Manhaj Salaf, hal. 40-41; baca pula Salafi digugat Salafi Menjawab oleh Syaikh DR. Shâlih al-Fauzan dan buku Menjawab Modernisasi Islam karya Muhammad Hamid an-Nâshir).

Khatimah
Dari pengamatan sederhana ini, kita dapat memahami, pada dasarnya ada kriteria-kriteria manhaj salaf yang sudah menjadi pegangan keyakinan dan amalan yang sedang dilakukan sekalipun tanpa menonjolkan kesalafannya. Semua ini, semoga menjadi modal dan motivasi bagi kita dalam terus berusaha menuntut ilmu dan tafaqquh fid dîn yang sudah menjadi tradisi ilmiyyah para salafus shâlih ridwânullâh ‘alaihim sebagai generasi terbaik.
Oleh karenanya, berusaha untuk mencontoh mereka (dalam ilmu dan amal) sejauh usaha dan kemampuan kita, tentu jauh lebih mulia ketimbang sibuk menisbatkannya.

Pepatah syair mengatakan:
كل يدعى وصلا بليلى             وليلى لا تقر لهم بذاكا

“Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila
                        Padahal Laila tidak pernah mengenal mereka.”

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Tinggalkan komentar kamu

Kirim Update Info Terbaru Untuk
Sobat InfoAgus Langsung ke Email Sobat !