AKHLAK DA’I
OLEH: AGUS S & MAHMUD
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(Ash-shaff: 2-3)
Perubahan
dari diri sendiri merupakan prioritas dalam sikap seorang da’I ilallah.
Artinya, sebelum memperbaiki dan menganjurkan satu perbuatan baik atau
satu perbahan kepada orang lain, perbaiki dan ubah terlebih dahulu diri
sendiri. Jadikan diri sendiri sebagai cermin teladan bagi orang lain.
Pada suatu kali mungkin saja orang lain tidak mengerti apa yang kita
katakan, mereka memerlukan adanya contoh yang melakukannya terlebih
dahulu. Ibarat memandikan kerbau atau sapi, biasanya para penggembalanya
lebih dahulu turun ke sungai, sehingga kerbau atau sapinya tanpa
dipukul pun akan turun ke sungai dengan keinginan si penggembalanya.
Allah swt sangat mencela orang-orang yang hanya pandai berkata tentang
kebaikan, akan tetapi dirinya sendiri tidak melakukannya.[1]
Di
dalam tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwasannya maksud dari ayat
diatas adalah mengingkari suatu perjanjian bagi orang yang berjanji atau
orang yang mengatakan suatu perkataan dan dia tidak mengamalkannya
adalah suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah, dan Allah sangat
murka kepadanya.[2]
Para ulama’ salaf berpendapat tentang ayat diatas, bahwa sesungguhnya kita wajib menepati janji mutlak.[3]
Para ulama’ hadist menetapkan di dalam shahih Bukhori dan shahih Muslim tentang ayat tersebut dengan mengaitkan sebuah hadist:[4]
((آية المنا فق ثلاث اذا وعد أخلف , واذا حدث كذب, واذا تؤمن خان))
Artinya: “tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga; apabila berjanji ia mengingkari, apabila
berbicara ia berbohong, apabila ia dipercaya ia berkhianat.” (Bukhori
dan Muslim)
Ibnu katsir mengutip riwayat Ali bin Abi Talhah
dari Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat diatas berkata bahwa sebagian
manusia yang beriman sebelum diwajibkannya jihad mereka berkata; “kalau
seandainya Allah menyayangi kami pasti Dia tunjukkan kepada kami amal
yang paling Dia sukai, maka kami akan melakukannya, lalu Allah
mengabarkan kepada Nabi-Nya bahwa amal yang paling Dia sukai adalah
beriman terhadap-Nya, yang tidak ada keraguan didalamnya. Dan jihad
(memerangi) ahli maksiat yang melanggar iman dan tidak mengikrarkannya.
Tatkala perintah jihad itu turun, sebagian orang mukmin justru
membencinya (jihad) dan merasa berat dengan perintah itu.[5]
Pendapat
di atas, menurut ibnu Katsir dipilih oleh ibnu Jarir. Masih menurut
ibnu Katsir, mengutip perkataan Muqatil bin hayan mengenai ayat tersebut
dia berkata; orang-orang mukmin berkata, “kalau kami mengetahui
amal yang paling disukai oleh Allah, pasti kami melakukannya. Maka Allah
menunjuki mereka (orang-orang mukmin) terhadap amal yang disukai-Nya.
Maka Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh.”(Ash-Shaff: 4)
Maka Allah menjelaskan kepada mereka, kata ibnu Hayan, “maka
mereka (orang-orang mukmin) diuji pada hari ahad dengan hal itu
(jihad), lalu mereka berpaling dari Nabi, maka Allah menurunkan ayat
(Ash-Shaff: 2), lalu Allah berkata, “yang paling Aku sukai diantara
kalian adalah orang yang berperang di jalan-Ku.”
Masih menurut Muqatil bin Hayan, diantara mereka ada yang mengatakan, ketika bertempur dalam peperangan seseorang berkata; “aku
telah berperang padahal tidak, aku telah menusuk padahal tidak, aku
telah memukul padahal tidak, aku telah bersabar padahal tidak.”
Mengutip
Qatadah dan Ad-Dhohaq, Ibnu Katsir melanjutkan interpretasinya, ayat
itu turun sebagai celaan bagi kaum yang mengatakan kami telah membunuh,
kami telah menusuk, kami telah memukul, kami telah melakukannya padahal
mereka tidak melakukan itu semua. Sementara menurut ibnu Zaid ayat itu
turun pada suatu kaum yang didalamnya ada orang-orang munafik. Mereka
tidak mau memberikan pertolongan pada orang-orang muslim.
KESIMPULAN:
Dari
ayat diatas dapat diambil kesimpulan, sejatinya seorang da’I harus
konsisten dan komitmen terhadap yang dida’wahkannya, jika tidak maka
sebagaimana yang Allah jelaskan diayat itu, berarti dia telah melakukan
dosa yang besar.
Selain itu, seorang da’I harus mempertanggung
jawabkan apa yang dia katakan. Jika dia berjanji harus ditepati, jika
berkata dia harus jujur, dan jika dia dipercaya harus amanah. Jangan
seperti orang-orang munafik.
[1]Misbach Malim, Da’wah mencermati peluang dan problematikanya, Jakarta: STID M Natsir Press, cet. 1, hal. 62
[2]
Imam Hafidz Imadudin abu Fida’ Isma’il bin Katsir al Kursi ad Dimtsaqi,
Tafsir ibnu Katsir juz.4, Beirut:darul jil, cet.I, hal. 357
[3] ibid
[4] ibid
[5] Ibid, hal. 358
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu