DA’WAH: ANTARA FIQHUL WÂQI’ DAN FIQHUL AHKÂM
Terwujudnya
sebuah tujuan (maqâshid), sangat tergantung kepada perantara tujuan itu
sendiri (wasâil). Dalam logika da’wah mengandung pengertian:
“Keberhasilan sebuah usaha da’wah sangat ditentukan oleh strategi fiqih da’wah
itu sendiri”. Sekalipun bukan harga mati, paling tidak mendorong bagi pelaku
da’wah untuk melakukan persiapan yang lebih maksimal agar tujuan
da’wah dapat
tercapai tanpa menafikan kehendak (iradah) yang Maha Kuasa. Makanya,
diperlukan peningkatan kemampuan untuk memahami segala perbedaan tingkatan akal,
karakter, wawasan dan lainnya, terutama mengenai pribadi dâ’i sebagai subjek
da’wah dan kehidupan da’wah itu sendiri sebagai objeknya. (Fathi Yakan, Al-Istî’âb
fî Hayâtid Da’wah wad Dâ’iyah, hal. 9)
Sebenarnya
pembahasan mengenai masalah ini sudah banyak dikaji para tokoh dan pemikir zaman
ini, Al-Bayanuni dalam al-Madkhal, Abdul Karim Zaidan dalam Ushulud
Da’wah, Hasan Al-Banna dengan Fiqhul Wâqi’nya, Sayyid Quthb dan
Mushthafa Masyhûr dengan Fiqhud Da’wahnya. Tidak terkecuali Dr. Mohammad
Natsir dengan buku yang sama.
Dalam prakteknya,
memahami lapangan da’wah tidak semudah membalikkan telapak tangan, dimana
seorang pelaku da’wah akan dihadapkan kepada dua kenyataan, antara Fiqhul
Wâqi’ (memahami realitas yang dihadapi) dengan Fiqhul Ahkâm
(memahamkan dalil syari’at yang harus diamalkan), mana yang harus lebih
didahulukan?
Di sinilah para
dâ’i akan diuji, mampukah mereka menimbang-nimbang dua persoalan tersebut. Dalam
istilah Dr. Yûsuf al-Qaradhawi, bagaimana seorang dâ’i mampu memetakan Fiqhul
Muwâzanât bainal mashâlih wal mafâsid (mempertimbangkan antara
kemashlahatan dan kemadharatan atau kerusakan secara seimbang) yang didasarkan kepada
pemahaman kajian ilmiah, objektifitas dan kecermatan terhadap realita, baik
realitas kita maupun realitas orang lain dengan memanfa’atkan semua data,
informasi dan sarana modern. (Al-Qaradhawi dalam As-Shahwah al-Islâmiyah
Bainal Ikhtilafil Masyru’ Wat Tafarruq al-Madzmûm, hal. 7)
Yang lebih adil
dari kedua pertimbangan tersebut itu, adalah memadukan antara pemahaman syar’i
dan pemahaman realita agar dapat saling menyempurnakan sehingga mampu mencapai
pertimbangan ilmiah secara benar, jauh dari sikap ekstrim dan ceroboh. Kaidah
semacam ini telah muncul semenjak zaman para ulama terdahulu dan diulas dalam
kitab-kitab mereka, seperti Al-Mustashfa karya al-Ghazali, Al-Muwâfaqât
karya As-Syâthibi, Al-Qawâ’id karya Al-Juwaini, Al-Asybâh karya
As-Suyûthi dan Al-Furuq karya Al-Qurâfi (Al-Qaradhawi, Awlâwiyât
al-Harakah al-Islâmiyah Fil Marhalatil Qâdimah (terj.), hal. 29)
Terlepas dari pro
dan kontra, mana yang lebih wajib didahulukan, nampaknya keduanya setuju bahwa
‘fiqhul wâqi’ sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki oleh para
pengemban da’wah. Namun demikian, perlu adanya batasan-batasan dan
persyaratan-persyaratan dalam penerapannya agar tidak terjadi penyimpangan. Hal
ini pernah dikhawatirkan Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid
al-Halabi, bahwa diantara penyimpangan tersebut adalah: terjerumus dalam
pemisahan antara ilmuwan agama dengan ilmuwan syari’at seperti dikenal dalam
dunia tashawwuf, cepat menuduh orang lain tidak tahu kondisi, meninggalkan
syari’at demi fiqhul wâqi’ tanpa landasan ilmu, meremehkan tauhid dan
sunnah nabi, mengikuti tradisi dengan alasan fiqhul wâqi’. (Fiqhul
wâqi’ Bainan Nazhariyât wat Tathbîq (terj.) hal. 64-83)
Bahkan
sebelumnya, Syaikh Muhammad Nashîruddin al-Albani menegaskan dalam bukunya: Suâl
Wa Jawâb Haula Fiqhil Wâqi’ bahwa mengetahui fiqhul wâqi’ (memahami
realitas) merupakan ilmu yang penting untuk diketahui. Namun, menurutnya tidak
berarti harus berlebihan sampai menggeser fiqih-fiqih lainnya seperti halnya Fiqhul
Qur’an, Fiqhus Sunnah, Fiqhul Lughah, Fiqh Hukum Alam
dan Fiqhul Ikhtilâf dan lain-lainnya. Masih menurutnya, memahami Fiqhul
Qur’an dan Fiqhus Sunnah merupakan pokok dan dasar dari semua jenis fiqh. Tidak
berlebihan jika ada yang mengatakan memahami fiqh ini hukumnya Fardhu ‘Ain,
mengingat besarnya kebutuhan kaum muslimin dan keharusan untuk berpegang teguh padanya.
Sedang fiqih wâqi’ hukumnya fardhu kifâyah, artinya sebuah
kewajiban yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagiannya, maka gugurlah kewajiban
sebagian yang lain. Sikap yang adil adalah sikap pertengahan, memahami fiqhul
waqi’ adalah penting, namun tidak menenggelamkan mereka didalamnya. (lihat
Fiqhul Wâqi’ Upaya memahami Realitas Ummat Islam karya Syaikh Muhammad
Nâshiruddin al-Albani)
Untuk
menggambarkan betapa memahami realitas itu sesuatu yang penting dan bagaimana
caranya agar selamat dari problem tersebut, rasulullah saw. sejak awal telah
memberikan rambu-rambunya, diantaranya hadits rasulullah saw. yang menunjukan betapa
pekanya beliau dalam melihat realita lingkungan yang dihadapi dengan memberikan
solusinya.
إِذَاتَبَايَعْتُمْ
بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لَايَنْزِعُهُ عَنْكُمْ
حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ (رواه أبو داود)
“Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘inah dan kalian mengambil
ekor sapi, serta sudah ridha terhadap bercocok tanam dan meninggalkan jihad,
maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut sampai
kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Dawud dari Ibnu ‘Umar ra., di
shahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilah al-Hadits as-Shahîhah
1/42 no. 11)
Menurut Nâshir bin Sulaiman al-‘Umr, untuk lebih
selamatnya memahami Fiqhul Wâqi’, maka penting untuk memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Berpegang pada prinsip-prinsip
syar’i dan akal dalam menilai suatu fakta dan dalam membuat prediksi
2. Teliti dalam menukil dan menerima informasi (QS. Al-Hujurât/ 49:
6)
3. Seimbang dalam menentukan nara sumber (QS. Al-Baqarah/ 2: 143)
4. Berinteraksi dengan baik dan menjauhi bahaya (QS. An-Nahl/ 16:
125 dan Al-Baqarah/ 2: 269)
5. Tidak memastikan dalam membuat prediksi (QS. Luqman/ 31: 34 dan
QS. Al-A’raf/ 7: 188)
6.
Waspada pada sikap ta’ajjub
kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang menyimpang.
Adapun batasan pokok yang dijadikan sendi-sendi Fiqhul
Wâqi’, diantaranya memilih nara sumber, mana yang harus didahulukan dari
sumber-sumber yang lebih selamat dalam menimbang persoalan-persoalan yang
dihadapi. Sumber-sumber yang dimaksud adalah: Al-Qur’an dan Tafsirnya,
as-Sunnah an-Nabawiyyah, Sîrah salafus shalih, kitab-kitab ‘aqidah dan fiqih, mempelajari
dan memahami sejarah, sumber-sumber yang berhubungan dengan politik, hubungan
politik dan ekonomi (termasuk sosial, budaya dan keamanan, pen.) dan sumber
lain yang bersifat informatif. Wallâhu A’lam
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu