MEMAHAMI METODE DA’WAH
Metode, dalam bahasa Arab disebut dengan kata yang
umum manhaj atau minhâj; artinya jalan yang terang. Al-Qur’an menyebutkan:
لِكُلٍّ
جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...﴿المائدة/٥:٤٨﴾
“Untuk tiap-tiap ummat diantara kamu, kami berikan Syir’ah dan
minhaj…” (QS. Al-Maidah/ 5: 48)
Al-Raghîb al-Ashbahani dalam al-Mufradatnya,
menukil pandangan Ibnu ‘Abbas ra. Bahwa kata syir’ah (aturan) dalam ayat
tersebut mengandung arti segala yang dibawa al-Qur’an, sedangkan minhâj (jalan yang
terang) adalah apa yang dibawa oleh as-Sunnah. (al-Ashbahani dalam Ali Abdul
Halim Mahmud, Metode Riset Islami, hal. 12).
Adapun kata metoda, berasal dari bahasa Inggris,
method yang artinya cara, yaitu suatu cara untuk mencapai cita-cita. Dalam
Concise Oxford Dictionary (1995) disebutkan: “Method is special form of
procedure esp in any branch of mental activity” terkandung arti khusus tentang
prosedur kegiatan mental. (Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Da’wah),
hal. 59)
Sedangkan dalam
Encyclopedi Ilmu-ilmu Sosial Ahmad Zaki disebutkan bahwa metode berdiri atas
dasar Istiqra’ (induksi); yaitu mengamati bagian-bagian sesuatu atau
kasus-kasus tertentu untuk sampai pada kesimpulan umum. Maka dikatakan Metode Da’wah,
adalah: cara-cara yang dipergunakan seorang penyeru da’wah (subjek da’wah)
untuk menyampaikan materi da’wah (yaitu al-Islâm) atau serentetan kegiatan
untuk mencapai tujuan. (Wardi Bachtiar, hal. 34)
Dengan demikian, ketepatan sebuah metode sangat
menentukan keberhasilan da’wah seseorang sehingga Islam dirasakan lebih responsife
dan fungsional dalam memandu kehidupan ummat serta menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi. Oleh karenanya, al-Qur’an dan as-Sunnah menawarkan
ragam metode yang dapat dijadikan pilihan; mulai dari da’wah bil hikmah
(pendekatan kebijakan), da’wah bil mau’izhah al-hasanah (nasihat yang
baik), da’wah bil mujâdalah billatî hiya ahsan (membantah dengan cara
yang lebih baik), da’wah bil yad (kekuatan tangan, atau kekuasaan), da’wah
billisân (kekuatan lisan) dan da’wah bil qalbi (kekuatan hati).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
أُدْعُ
إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَا دِلْهُمْ
بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah manusia kejalan Tuhanmu dengan hikmah
dan mau’izhah hasanah dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (mujâdalah), sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari JalanNya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS.
An-Nahl/ 16: 125)
Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ
رَأَىْ مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ
“Siapa
saja diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia merobahnya dengan
tangannya, jika ia tidak mampu robahlah dengan lisannya dan jika tidak mampu
robahlah dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim dari
Abi Sa’id al-Khudzri ra.)
Disamping itu,
masih ada istilah-istilah yang sepadan yang dapat kita temukan dalam al-Qur’an,
yaitu tablîgh (penyampaian ajaran) terdapat dalam QS. al-Ahzâb/ 33: 39, al-amru
bil ma’ruf (memerintahkan kebaikan) terdapat dalam QS. al-Hajj/ 22: 41, QS.
Ali Imrân/ 3: 104, an-Nahyu ‘anil munkar (melarang perbuatan jahat), tabsyir
(berita gembira) terdapat dalam QS. az-Zumar/ 39: 17, indzâr (kabar
ancaman) terdapat dalam QS. at-Taubah/ 9: 122, tadzkirah atau dzikrâ
(peringatan) terdapat dalam QS. al-A’lâ/ 87: 9, QS. al-Ghâsiyah/88: 21, nashihah
(nasihat) terdapat dalam QS. al-A’râf/ 7: 79 dan washiyah (pesan yang
baik) terdapat dalam QS. al-‘Ashr/ 103: 3.
Namun demikian,
semuanya itu telah terwakili oleh empat metode yang dipaparkan pada QS. an-Nahl/
16: 125 (yaitu: hikmah, mau’izhah dan mujâdalah), ditambah
dengan qarînah lain yang tertulis pada QS. al-Ankabût/ 29: 46 (ad
Da’wah Ilallâh bil mujâdalah bimâ laisa ahsan).
Zaid bin Abdil
Karim al-Zaid menukil pandangan Ibnu Taimiyah dalam menjelaskan keempat metode
itu dengan pemetaannya secara ringkas sebagai berikut:
1.
Al-Hikmah: Metode
da’wah yang digunakan apabila objek da’wah telah mengetahui dan telah jelas
akan kebenarannya, yaitu objek da’wah yang sudah banyak tahu akan kebenaran namun
belum dapat menunaikannya
2. Al-Mau’izhah al-Hasanah: Metode yang digunakan apabila
objek da’wah masih merasa takut untuk melakukan kebenaran dimana kebenaran itu
apabila dia lakukan terasa akan menghalangi kehendak hawa nafsunya, biasanya
diperuntukkan bagi objek da’wah yang masih awwam sekali
3. Mujâdalah Billatî Hiya Ahsan: Metode dengan menggunakan
munâzharah (tukar pikiran) yang disesuaikan dengan kemampuan ilmunya dan
biasanya digunakan bagi para ahli ilmu
4.
Mujâdalah Bighairillatî
Hiya Ahsan: Metode dengan menggunakan bantahan dengan cara yang bukan
terbaik sekalipun, artinya bantahan keras, bahkan lebih keras bagi orang-orang
yang jelas-jelas melakukan penentangan terhadap ajaran agama. Ibnu Taimiyah
mengistilahkan metode yang keempat ini dengan Mujâladah, yaitu menguliti
argumen lawan. (lihat Zaid bin Abdil Karim al-Zaid, al-Hikmah fid Da’wah
Ilallâh, hal. 36-37)
Adapun
yang dijadikan qarînah adanya metode keempat itu, adalah ayat al-Qur’an
yang berbunyi:
وَلَا
تُجَادِلُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِيْنَ
ظَلَمُوْا مِنْهُمْ...﴿العنكبوت/٢۹:٤٦﴾
“Dan janganlah kamu berbantahan dengan
Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang zhalim
diantara mereka…” (QS. Al-Ankabut/ 29: 46)
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu