IMAM ABU HANIFAH
Oleh: Gustian dan Suwandi
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
hanya milik Allah Tuhan semesta alam, tempat bergantung semua insan,
dan yang tidak melahir dan dilahirkan. Semoga shalawat dan salam tetap
tercurah kepada manusia terbaik pilihan Tuhan,
yakni Nabi Muhammad Saw.
juga kepada keluarganya dan generasi pilihan yang dimulyakan, serta
orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak langkahnya hingga akhir
zaman. Amma ba’du.
Dalam makalah ini akan membahas tentang seorang
tokoh yang diberikan oleh Allah kelebihan berupa ilmu, kecerdasan
pikirannya, keluasan wawasan dan keistimewaan lain yang nanti kita akan
diuraikan dalam makalah ini, Insyaallah.
Disamping
seorang Ulama’ beliau juga seorang yang pandai berbisnis seorang tokoh
yang dituakan dan terkenal di zamannya dan sudah pasti dia juga seorang
Da’i. Walaupun beliau
telah
diberikan oleh Allah berupa keistimewaan tersebut, akan tetapi beliau
tetap santun terhadap kawan yang sejalan dengannya maupun yang tidak.
Bahkan beliau dikenal sebagai ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat
teguh memegang ajaran agama. Dan beliau adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi, yang biasa kita kenal dengan Imam Abu Hanifah.

Dengan
demikian mudah-mudahan hadirnya makalah ini sedikit membantu kita dalam
memahami Tokoh yang satu ini, yang nantinya kita dapat mentauladani
untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat.
- B. Biografi Singkat Imam Abu Hanifah
a) Waktu dan Tempat Kelahirannya
Imam
Abu Hanifah, bernama lengkap Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi.
Lahir kedunia pada tahun 80 H. (699 M), di Kufah, Irak. Dari segi
keturunan beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan
Imam Ali bin Abi Thalib ra.[1]
Ia dilahirkan bertepatan dengan masa kekuasaan Al-Qalid bin Abdul Malik bin Marwan, salah satu khalifah dari Bani Umayyah.
Sedangkan
’Abu Hanifah’ adalah merupakan gelar yang diberikan kepadanya, karena
beliau dikenal dari sejak kecil dengan kesungguhannya dalam beribadah.
Kata ’hanif’ dalam bahasa Arab berarti suci atau lurus. Begitupun
setelah menjadi ulama’ dan mujtahid, dia pun dipanggil dengan sebutan
Imam Abu Hanifah.
Gelar itu tampaknya lahir dari do’a sahabat
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib. Suatu ketika ayahnya, Tsabit, pernah
diajak kakeknya, Zauti, berziarah ke kediaman Ali bin Abi Thalib yang
menentap di Kufah sejak pertikaian politik mengguncang umat Islam. Ali
pun mendoakan agar keturunan Tsabit menjadi orang-orang utama di
zamannya. Doa itu tampaknya terkabul lewat kehadiran Al-Imam Abu
Hanifah.
Sayang, dia tak lama merasakan belaian kasih sayang sang
ayah . Tsabit meninggal saat Imam Abu Hanifah masih kanak-kanak.
Praktis, ibunya yang kemudian mendidik hingga dewasa.[2]
Pada
masa kekhalifahan Marwan II. Sedang gubernur Kufah ketika itu dibawah
pimpinan Yazid bin Umar bin Hubairah, pernah membujuk Imam Abu Hanifah
agar mau memegang jabatan di pemerintahan. Singkat kata, Imam Abu
Hanifah menolak tawaran tersebut.
Penolakan itu membuatnya
dipenjara dan setiap hari menerima cambukan atas perintah gubernur.
Setelah beberapa hari, dia pun dibebaskan. Sang Imam kemudian pergi ke
Hijaz dan menetap dua setengah tahun hingga Dinasti Umayyah digantikan
Dinasti Abbasiyah.[3]
Walupun
tampuk kepemimpinan berpindah, sedang sistem pemerintahan pun berubah.
Yaitu dari Dinasti Umayyah berubah menjadi Dinasti Abbasiyyah. Akan
tetapi, Khalifah Al-Manshur dari Bani Abbasiyyah, melakukan hal yang
sama terhadap Imam Abu Hanifah, menawarkan jabatan pemerintahan kepada
beliau, yaitu mengharapkan Abu Hanifah untuk menjadi qadhi (hakim) agung
ketika itu. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah kembali menolak tawaran
tersebut.
Maka, Khalifah Manshur murka kepada Abu Hanifah lalu
menjebloskannya ke penjara. Sekalipun di penjara, beliau tetap menolak
sebagai qadhi agung. Akhirnya Imam Abu Hanifah pun diracun. Dalam
kondisi keracunan, sang Imam masih menyempatkan diri shalat hingga ajal
menjemputnya. Dan beliau wafat pada tahun 150 H./767 M. Pada usia 70
tahun dan dimakamkan di pekuburan Khizra.[4]
Menurut
catatan sejarah, shalat jenazah pertama ulama’ besar ini diikuti
sebanyak 50 ribu pendududk Kufah, dan selama 20 hari shalat ghaib
dilakukan umat Islam di depan makamnya.[5]
b) Keistimewaan-keistimewaanya
- Sudah Menghafal Al-Qur’an dari Sejak Kecil
Muhammad
Jawad Mughniyah didalam kitabnya menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah
sejak masih kanak-kanak, telah menghabiskan waktunya dengan mengkaji dan
menghapal Al-Qur’an. Dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaanya,
sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam
ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang
dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam memperdalam pengetahuannya tentang
Al-Qur’an beliau sempat berguru kepada Imam Asin,[6] seorang Ulama terkenal pada masa itu.
- Tekun dalam Menimba Ilmu
Selain
memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu Fiqh. Dalam
ini menimba ilmu kepada kalangan sahabat Rasul, diantaranya adalah: Anas
bin Malik, Abdullah bin Aufah dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya.
Dari mereka selain belajar ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu
hadist.
Kemudian, beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat
tekun dalam mem-pelajari ilmu. Selain kepada kalangan para sahabat
diatas, beliau juga pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling
terpandang pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman. Tidak kurang
dari 18 tahun lamanya.[7]
- Mempunyai Perangai yang Baik
Diantara sifat-sifat beliau yang terpuji, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Zuhud dan Tawadhu’
Dikatakan,
bahwa semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang
sangat dalam ilmunya, akan tetapi dengan keluasan ilmu yang telah
dimilikinya, tidak membuatnya dia bangga dan membesarkan diri, tapi
justru sebaliknya, yaitu dengan ilmu yang dimilikinya membuat beliau
sangat zuhud dan sangat tawadhu’ dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
ketawadhu’annya itu membuat beliau tidak tertarik kepada kekayaan harta,
ataupun jabatan-jabatan resmi kenegaraan. Dikisahkan, bahwa Imam Abu
Hanifah pernah menolak tawaran Al-Manshur, yang ketika itu menawarkan
kepada beliau untuk menjadi Qadhi (hakim) ketika pada pemerintahan
Al-Manshur. Sehingga dengan penolakannya itu, beliau kemudian
dipenjarakan hingga akhir hayatnya.[8]
2. Dermawan dan Baik Hati
Seorang
sufi terkenal Syafik Balki, telah menyaksikan sendiri kebaikan akhlak
Imam Abu Hanifah. Saat itu, mereka berdua tengan berjalan dan
membincangkan suatu persoalan. Tiba-tiba seseorang yang datang dari arah
berlawanan berbalik arah menyaksikan keberadaan sang Imam. Beliau pun
segera memanggil orang tersebut dan menanyakan penyebabnya. Orang itu
mengaku malu bertatap muka karena masih berhutang 10 dirham kepada Imam
Abu Hanifah. Akhirnya, sang Imam membebaskan orang tersebut dari
hutangnya sekaligus meminta maaf telah membuiat orang itu bersusah hati.
3. Pemaaf dan Lemah lembut
Diceritakan
bahwa Imam Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari
bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa
oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk
dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada henti-hentinya sambil
bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk
sekali, kemudian tidur pulas.
Abu Hanifah yang sudah terbiasa
melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh
suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada
suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu
bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari
kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja
ditangkap polisi dan ditahan.
Selesai salat subuh, ketika hari
masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin menemui Amir
Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri
yang berkenan menemuinya.
Setelah bertemu dengan sang Amir beliau
mengutarakan maksud tujuan kedatangan beliau keistana. Yaitu memohonkan
kepada sang Amir agar tetangganya dilepaskan dari penjara yang baru
ditangkap kemarin sore oleh polisi.
Kemudian Imam Abu Hanifah
pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu
berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun
dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata, "Bagaimana? Aku tidak
mengecewakanmu kan?. Kemudian tetangganya menjawab:"Tidak, bahkan
sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu
balasan kebajikan."
Sejak itu tetangganya tidak lagi mengulangi
kebiasaannya, sehingga Imam Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu' dalam
ibadahnya setiap malam.[9]
- Melahirkan Kader-kader Ulama’
Walaupun
jasad beliau meninggal akan tetapi ilmunya tetap hidup dan tetap
tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-murid
beliau yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’
bin Jarah Ibnu Hasan Al-Syaibani, dan lain-lain. Sedang diantara
kitab-kitab Imam Abu Hanifah Adalah: Al-Musuan (kitab haist, dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).[10]
- Luasnya Ilmu dan Wawasannya
Dengan
luasnya Ilmu dan wawasan yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah., sehingga
ide dan pendapatnya yang cemerlang dapat tersebar dan mudah diterima
oleh Kaum Muslimin. Adapaun pendapat Imam Abu Hanifah bukan hanya
diakui. Lebih dari itu, pendapat beliau -yang kemudian dikenal dengan
Madzab Hanafi- dijadikan madzab resmi Daulat Abbasiyah, bahkan ahli
sejarah menyebutkan bahwa madzab beliau dapat bertahan selama lebih dari
500 tahun.
Madzab Hanafi tersebar secara luas di negara-negara
yang berada di bawah kekuasaan Daulat Abbasiyyah, kerajaan Turki Usmani
(Kerajaan Ottoman), daerah Asi Tengan (Anatolia), India, dan wilayah
Transoksania (Turkistan, Asia Tengah). Madzab ini juga tersebar di
Suriah, bahkan pernah menjadi Madzab negara. Demikian juga di Mesir,
Madzab Hanafi pernah menjadi Madzab resmi Negara tersebut.
- C. Da’wah dan Perjuangan Imam Abu Hanifah
Sejak
masa remaja, Imam Abu Hanifah telah menunjukkan kecintaan yang mendalam
pada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan dengan
hukum-hukum Islam. Beliau tergolong cepat dalam menangkap ilmu yang
diperolehnya, dari siapapun datangnya. Pembicaraannya selalu mengandung
nasihat dan hikmah.
Dikatakan pula bahwa Imam Abu Hanifah teguh
dalam memegang prinsip, berani menyatakan yang benar kepada siapapun,
dan memiliki kepribadian yang luhur. Kendati Imam Abu Hanifah anak
seorang saudagar kaya, dia amat menjauhi kemewahan hidup. Begitupun
ketika dia sendiri menjadi pedagang sukses, hartanya lebih banyak
didermakan daripada digunakan untuk kepentiungan pribadi dan
keluarganya.
Sukses menekuni dunia usaha tak membuat dirinya
mementingkan ambisinya sebagai ’tajir’. Beliau tetap memberikan
perhatian besar pada dunia ilmu. Kesungguhan dan kecerdasannya dalam
menuntut ilmu agama, khusunya dalam bidang fikih. Mengantarkan Imam Abu
Hanifah sebagai ahli ilmu fikih. Imam syafi’i bahkan pernah berkomentar,
”Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama’ fikih.”[11]
Berkaitan
dengan kepeduliannya dalam masalah hukum Islam ini, Imam Abu Hanifah
membentuk sebuah badan yang didalamnya terdiri dari para intelektual
(ulama’). Beliau sendiri mengetuai lembaga tersebut. Badan yang dibentuk
sang Imam ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam
dalam tulisan, dan mengalihkan syari’at Islam ke dalam bentuk
perundang-undangan.
Al-Khawarizmi menyebutkan bahwa, ”Jumlah hukum
Islam yang disusunya lebih dari 83 ribu, sebanyak 38 ribu diantaranya
mengenai urusan agama, dan 45 ribu tentang urusan dunia. Selain belajar
ilmu fikih, Imam Abu Hanifah juga mendalami hadist, tafsir, serta sastra
Arab dan ilmu hikmah. Karena itulah, Imam Abu Hanifah dikenal luas
pandangannya.
Kemudian dalam memberikan pelajaran kepada
murid-muridnya, beliau berbeda dengan guru-guru yang lainya pada waktu
itu, Abu Hanifah selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk brfikir
kritis. Ia tidak ingin muridnya menerima begitu saja ilmu yang
disampaikannya, melainkan mereka boleh mengemukakan tanggapan, pendapat,
dan kritik.
Sering kali ia ditemukan berdiskusi, bahkan berdebat
dengan murid-muridnyatentang suatu masalah. Walaupun ia memberi
kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat kepada murid-muridnya, ia
tetap disegani dan dihormati, malah sangat dicintai murid-muridnya.[12]
- D. Pelajaran Da’wah Yang Dapat Diambil
Setelah
kita mengetahui tentang kepribadian, da’wah dan perjuangan Imam Abu
Hanifah. Sudah barang tentu, akan banyak pelajaran penting yang dapat
kita ambil dan dapat dijadikan tauldan, terlebih lagi bagi kader-kader
du’at.
Pertama, Dalam perjalanan da’wah, akan senantiasa ditemukan
berbagai macam cobaan dan rintangan oleh seorang juru da’wah (da’i).
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa seorang da’i senantiasa komitmen
dengan prinsip-prinsip yang telah ia pegang, dan tidak terpengaruh
terhadap bujuk rayu kehidupan dunia yang fana ini.
Kedua, Dalam
kondisi dan situasi bagaimanapun, seorang juru da’wah (da’i) senantiasa
berusaha untuk meminimalisir kesalahan atau kekeliruan dalam dirinya,
dan senantiasa dalam segala bentuk perbuatan dan ucapannya menganduk
nilai-nilai yang Islami, serta berusaha dengan semaksimal mungkin dalam
segala macam kata-kata yang terlontar dari lisannya mengandung nasehat
dan hikmah bagi orang lain (mad’u).
Ketiga, Seorang da’i harus
mempunyai sikap loyal atas ajaran Rasul dan para sahabatnya, dan
berbara’ dari ajaran-ajaran yang menyimpang atau keluar dari tuntunan
Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, Dalam memutuskan segala urusan yang
berkenaan dengan agama. Hendaklah menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber
rujukan pertama, kemudian setelah itu adalah Sunnah rasulullah Saw.
Selanjutnya perkataan para sahabat(Qaul As-Shahabi), kemudian setelah
itu baru mulai menggunakan sumber-sumber rujukan yang lainnya. Seperti
halnya Qiyas, Ijma’, Istihsan dan adat yang berlaku dalam masyarakat
Islam (Urf).
Kelima, Seorang da’i senantiasa menghiasi dirinya
dengan Ahlaq Al-Karimah (budi pekerti yang baik), baik terhadap kawan
maupun terhadap lawan, ia senantiasa bersikap sopan santun, lemah
lembut, pemaaf, tawadhu’ dan sifat-sifat baik yang lainnya.
Keenam,
Dalam kancah da’wah hendaklah seorang da’i, senantiasa membentuk
kaderisasi agar generasi selanjutnya dapat melanjutkan perjuangan yang
telah ia bangun. Walaupun dari para perintisnya sudah banyak
yang berlalu (meninggal), da’wah Islam senantiasa eksis dan berjalan
secara kontinu, Manusia boleh mati namun da’wah Islam tetap hidup hingga
akhir hayat.
Ketujuh, Seorang juru da’wah tidak menjadikan lahan
bisnis (mata pencaharian) dalam da’wahnya. Karena itu, disamping sebagai
da’i dia juga dituntut untuk membangun usaha yang dapat menghidupi diri
dan keluarga serta dapat membantu aktifitas da’wah dari hasil usahanya.
Dengan kata lain, Membangun usaha menopang da’wah.
Wallahu A’lam Bisshowab
Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin....
[1] Prof. Dr. Abdul Azis Dahlan dkk. (Editor). Enseklopedi Hukum Islam, Jilid I.Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 12-13.
[2] Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka, Cet. I hal. 61.
[3] Ibid. Hal. 63
[4] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab. 2006. Terjemahan oleh, Masykur A.B. dkk. Jakarta: Penerbit Lentera. Cet. Ke-17 hal. XXV.
[5] Op. Cit.
[6] Dikatakan bahwa nama lengkap beliau adalah, Imam Asim bin Abu an-Najwad.
[7] Op. Cit. Hal. XXVI
[8] Ibid
[9] www. Alislam.or.id
[10] Ibid
[11]
Ulama lain yang memuji kelebihan beliau adalah: Imam Khazzaz bin Sarad,
dia mengakui bahwa Imam Abu Hanifah Memiliki keunggulan di bidang fikih
dari ulama-ulama yang lainnya.
[12] Ensiklopedi Islam, hal. 80
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu