SIRAH RASULALLAH SAW
Oleh: Agus Setiawan, Robithao Alam I, Gustian
I. PENDAHULUAN
Segala
puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Pembuat gelap dan terang.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada pemimpin kita, Muhammad
saw, penutup para rasul, yang memberikan kabar gembira dan kabar
menakutkan,
yang memberi janji dan peringatan, yang dengan kehadiran
beliaulah Allah menyelamatkan manusia dari kesesatan, yang menunjukkan
manusia ke jalan yang lurus, jalan yang ada dilangit dan dibumi, dan
hanya kepada Allahlah semua urusan akan kembali.
Sirah Rasulullah
saw tidak pernah lekang dan lapuk untuk menjadi bahan baku sejarah yang
diambil generasi pewaris nubuwah sebagai bekal perjalanan dan penopang
eksistensinya. Bagi siapapun yang mempelajari sejarah beliau, akan
memperoleh gambaran sejarah yang amat menakjubkan, bagaimana beliau dan
para sahabatnya mampu menundukkan pesona dunia dan mengangkat
nilai-nilai kemanusiaan hingga kesuatu tingkatan yang tidak pernah
disaksikan oleh lembaga sejarah di manapun berada.
Pada
hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah merupakan ungkapan tentang risalah
yang dibawa Rasulullah saw kepada masyarakat manusia, untuk mengeluarkan
mereka dari kegelapan kepada cahaya, dari penyembahan terhadap hamba
kepada penyembahan kepada Allah. Jadi tidak mungkin bisa menghadirkan
gambarannya secara pas dan mengena kecuali setelah membandingkan hal-hal
dibalik risalah ini dan pengaruhnya. Insyaallah melalui tulisan ini
kami sedikit banyaknya akan mengulas tentang sirah Rasulullah yang kami
ambil dari berbagai literatur dari kitab-kitab sirah.
Dalam
pembahasan ini kami langsung membahas masalah dakwah Rasulullah di
Makkah diawal pengangkatan Beliau menjadi Rasul. Dalam masalah ini kita
bisa membagi masa dakwah Rasulallah menjadi dua periode, yang satu
berbeda secara total dengan yang lain. Dimana pada periode Makkah ini
berjalan sekitar tiga belas tahun, kemudian dilanjutkan pada periode
Madinah yang berjalan sekitar sepuluh tahun.
Setiap periode
memiliki tahapan-tahapan tersendiri, dengan kekhususannya masing-masing,
yang satu berbeda dengan yang lain. Hal ini tampak jelas setelah
meneliti berbagai unsur yang menyertai dakwah itu selama dua periode
secara mendetail.
Periode Makkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
- Tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang berjalan selama tiga tahun
- Tahapan dakwah secara terang-terangan di tengah penduduk Makkah, yang dimulai sejak tahun keempat dari nubuwah hinggan akhir tahun kesepuluh
- Tahap dakwah di luar Makkah (seperti Tha’if) dan penyebarannya, yang dimulai dari tahun kesepuluh dari nubuwah hingga hijrah ke Madinah
Sedangkan periode Madinah dibagi menjadi tiga tahapan yaitu:
- Tahapan masa yang banyak diwarnai guncangan dan cobaan, baik dari dalam maupun dari luar kota Madinah, tahapan ini berakhir dengan dikukuhkannya perjanjiaan Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah tahun ke enam dari kenabian.
- Tahapan masa perdamaian dengan para pemimpin paganisme, yang berakhir dengan Fathu Makkah pada bulan Ramadhan tahun ke-8 dari hijrah. Ini juga merupakan tahapan massa berdakwah kepada para raja untuk masuk Islam.
- Tahapan masuknya manusia ke dalam Islam secara berbondong-bondong, yaitu masa kedatangan para utusan dari berbagai kabilah dan kaum ke Madinah.
Tahapan selanjutnya
adalah tahapan akhir dari tahapan-tahapan kehidupan Rasulullah saw,
menggambarkan kesuksesan yang dihasilkan dakwah Islam, setelah sekian
lama terjun dalam jihad, melewati kesulitan, rintangan, yang dilalui
selama lebih dari dua puluh tahun. Penaklukan Makkah merupakan hasil
paling penting yang diraih orang-orang muslim pada tahun-tahun itu.
Alhasil perjalanan hari dan udara jazirah Arab berubah total. Penaklukan
Makkah ini merupakan batas penentu antara masa sebelumnya dan
sesudahnya. Sebelum itu, Quraisy dimata bangsa Arab merupakan pelindung
agama dan penolongnya. Bangsa Arab pada saat itu mengikuti mereka dalam
masalah ini. Karena itu, tunduknya Quraisy dianggap sebagai kesudahan
dari agama paganis di Jazirah Arab.
II. PERIODE MAKKAH
- Muhammad Diangkat Menjadi Rasul
Selagi
usia beliau genap 40 tahun, suatu awal kematangan, dan ada yang
berpendapat bahwa pada usia inilah para Rasul diangkat menjadi Rasul,
mulai tampak tanda-tanda Nubuwah yang menyembul dari balik kehidupan
diri Beliau. Diantara tandanya adalah mimpi yang hakiki. Selama enam
bulan mimpi yang Beliau alami itu hanya menyerupai fajar subuh yang
menyingsing. Mimpi ini merupakan salah satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari Nubuwah. Akhirnya pada bulan Ramadhan tahun ketiga dari
masa pengasingan di gua hira’, Allah berkehendak untuk melimpahkan
rahmatnya kepada penghuni bumi, memuliakan beliau dengan Nubuwah dan
menurunkan jibril sambil membawa ayat-ayat Qur’an.[1]
- Dakwah Rasulallah saw Di Makkah
- Dakwah secara sembunyi-sembunyi
Sebagaimana
yang sudah diketahui, Makkah merupakan sentral agama bangsa Arab. Di
sana ada peribadatan terhadap Ka’bah dan penyembahan terhadap berhala
dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa Arab. Cita-cita untuk
memperbaiki keadaan mereka tentu bertambah sulit dan berat jika orang
yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari lingkungan mereka. Hal ini
membutuhkan kemauan keras yang tidak bisa di guncang musibah dan
kesulitan. Maka dalam menghadapi kondisi seperti ini, tindakan yang
paling bijaksana adalah memulai dakwah dengan sembunyi-sembunyi, agar
penduduk Makkah tidak kaget karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang
menggusarkan mereka.[2]
Dakwah
dimulai kepada orang yang paling dekat dengan beliau, anggota keluarga
dan sahabat-sahabat karib beliau. Sebelumnya beliau dikenal orang yang
memiliki kepribadian yang baik, sehingga seruan beliau langsung
diterima. Dalam tarikh Islam, mereka dikenal sebagai As-Sabiqunal-Awwalun (yang
terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam). Mereka adalah istri
beliau ummul-Mukminin Khadijah binti Khuwailid, Zaid bin Haritsah bin
Syurahbil Al-Kalbi, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shidiq. Sesudah
itu diikuti oleh kerabat-kerabat lain atas dakwah yang disampaikan oleh
para sahabat yang pertama masuk Islam. Kemudian Ibnu Ishaq
berkata:”setelah itu banyak orang yang masuk Islam baik laki-laki maupun
wanita, sehingga nama Islam menyebar keseluruh Makkah dan banyak yang
membicarakannya”.[3]
- Dakwah secara terang-terangan
Wahyu yang pertama turun dalam masalah ini adalah firman Allah:
وَأنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ. (الشعراء: ٢١٤)
“Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat.” (Asy-Syu’ara’: 214)
Langkah
pertama yang dilakukan Rasulallah saw setelah turun ayat diatas, ialah
dengan mengundang Bani Hasyim. Mereka memenuhi undangan ini, yaitu
beberapa orang dari Bani Al-Muthalib bin Abdi Manaf, yang jumlahnya ada
empat puluh lima orang. Sebelum beliau berbicara, Abu Lahab sudah
mendahului angkat bicara, “mereka yang hadir disini adalah paman-pamanmu
sendiri dan anak-anaknya. Maka bicaralah jika ingin berbicara dan tidak
perlu bersikap kekanak-kanakan. Ketahuilah bahwa tidak ada orang Arab
yang berani mengenyitkan dahi terhadap kaummu. Dengan begitu aku berhak
menghukummu. Biarlkanlah urusan bani bapakmu. Jika engkau tetap bertahan
pada urusanmu ini, maka itu lebih mudah bagi mereka daripada seluruh
kabilah Quraisy menerkammu dan semua bangsa Arab ikut campur tangan.
Engkau tidak pernah melihat seorangpun dari Bani bapaknya yang pernah
berbuat macam-macam seperti yang engkau perbuat saat ini”.[4]
Dalam
mendakwahkan Islam secara terang-terangan Rasulullah dan para
sahabatnya mengalami berbagai tekanan dari pihak Quraisy. Menurut Ibnu
Ishaq tekanan tersebut justru dilakukan oleh tetangga beliau sendiri;
seperti Abu Lahab dan lainnya. Tapi tekanan-tekanan tersebut tidaklah
menyurutkan Beliau untuk mendakwahkan Islam, karena beliau memiliki
kpribadian yang tidak ada duanya,berwibawa dan dihormati setiap orang.
Di samping itu Beliau masih mendapat perlindungan dari Abu Thalib.[5]
Langkah
bijaksana yang dilakukan Rasulullah dalam menghadapi berbagai tekanan
tersebut adalah, beliau melarang orang Muslim menampakkan ke Islamannya,
baik berupa perkataan maupun perbuatan, hal ini terjadi pada tahun
keempat dari nubuwah. Sekalipun demikian, kaum muslimin tetap mengadakan
pertemuan secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Setelah
berbagai macam tekanan yang dilakukan pihak Quraisy tidak dapat
dibendung lagi maka Rasulullah menyuruh para sahabat untuk hijrah ke
Habsyah yang pertama kali yang dipimpin oleh Utsman bin Affan. Walaupun
berbagai macam tekanan yang dialami oleh Nabi saw, ternyata ada hikmah
dari semua itu diantaranya; masuknya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar
bin Khattab kedalam Islam. Dengan masuk Islamnya kedua sahabat tersebut
maka dakwah pun mulai dilakukan lagi secara terang-terangan yang
sebelumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Semenjak Hamzah dan
Umar masuk Islam, Rasulullah mendapatkan perlindungan dari kecaman
orang-orang Quraisy, sehingga orang-orang Quraisy tidak bisa secara
bebas untuk melakukan berbagai tekanan lagi. Tapi diotak mereka muncul
ide lain untuk membinasakan Rasulullah dan para sahabatnya yaitu mereka
melakukan pemboikotan antara Bani Hasyim dan bani Muthalib. Diantara
isinya adalah: larangan menikah, berjual beli, berteman, berkumpul,
memasuki rumah, berbicara dengan mereka, kecuali jika secara suka rela
mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Pemboikotan itu tidak
berjalan lama. Setelah 3 tahun tepatnya bulan Muharram tahun kesepuluh
dari kenabian , papan piagam tersebut terkoyak dan isinya terhapus yang
dilakukan oleh Hisyam bin Amr dari Bani Amir bin Lu’ay. Dengan demikian
maka berakhirlah pemboikotan tersebut.[6]
Selang
enam bulan dari pemboikotan, Abu Thalib meninggal dunia, dan kemudian
disusul oleh Khadijah isrti Rasulullah saw setelah tiga tahun Abu Thalib
meninggal. Inilah yang dirasakan sangat berat oleh Rasulullah, karena
keduanya telah banyak berkorban terhadap Islam. Inilah yang dalam
sejarah Rasulullah disebut dengan tahun duka cita.
Selagi
rasulullah saw dalm keadaan terjepit di perjalanan antara keberhasilan
dan tekanan, maka pada saat itulah Allah Mengisra’ Mi’rajkan beliau
untuk menerima perintah Shalat lima waktu sehari semalam.
- Dakwah Ke Tha’if
Pada
bulan Syawwal tahun kesepuluh dari nubuwah, atau pada akhir-akhir bulan
Mei atau awal-awal bulan Juni 619 M, Rasulullah saw pergi ke Tha’if,
yang berjarak kurang lebih enam puluh mil dari Makkah, Beliau ditemani
oleh Zaid bin Haritsah. Setiap kali melewati suatu kabilah , Beliau
mengajak mereka kepada Islam. Namun tak satupun yang memenuhinya. Setiba
di Tha’if beliau menemui tiga orang bersaudara dari pemimpin bani
Tsaqif, yaitu Abdul Yalail, Mas’ud bin Hubaib, dan anak-anak Amr bin
Umair Ats-Tsaqafi. Diantara Beliau dan ketiga orang tersebut terjadi
dialog yang panjang. Beliau mengajak mereka kepada Islam, namun apa
jawab mereka, “Demi Allah kami tidak sudi berbicara denganmu sama
sekali. Jika kamu benar-benar Rasul Allah, tentunya kamu lebih berbahaya
jika kami harus menyanggah perkataanmu. Dan jika kamu membuat kedustaan
terhadap Allah, berarti kami layak berbicara denganmu.
Intinya
dakwah yang disampaikan kepada penduduk Tha’if tidak mendapat hasil sama
sekali (dalam arti tidak ada yang menerima beliau kecuali hanya
pembantu kebun yang bernama Addas).
- Isra’ Mi’raj
Selagi
Rasulullah saw dalam keadaan terjepit di perjalanan antara keberhasilan
dan tekanan, maka pada saat itulah Allah Mengisra’ Mi’rajkan beliau
untuk menerima perintah Shalat lima waktu sehari semalam. Mengenai waktu
terjadinya Isra’ Mi’raj ini banyak pendapat dari kalangan sejarawan
ada yang mengatakan terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun kesepuluh dari
nubuwah, ada yang mengatakan dua bulan sebelum hijrah tepatnya bulan
Muharram tahun ke-13 dari kenabian dan masih banyak lagi
pendapat-pendapat yang lain. [7]
- Baitul Aqabah
Setelah
terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj maka terjadilah apa yang disebut dengan
Baitul Aqabah. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Kemarilah dan berbaiatlah kalian kepadaku
untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anak sendiri, tidak akan berbuat dusta yang
kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak mendurhakaiku
dalam urusan yang baik. Barangsiapa di antara kalian menepatinya, maka
pahalanya ada pada Allah. Barangsiapa mengambil sesuatu dari yang
demikian ini, lalu dia disiksa di dunia, maka itu merupakan ampunan dosa
baginya, dan barangsiapa mengambil sesuatu dari yang demikian itu lalu
Allah menutupinya, maka urusannya terserah Allah. Jika menghendaki Dia
menyiksanya dan jika menghendaki Dia akan mengampuninya”. Lalu aku pun
berbaiat kepada Beliau.[8]
Setelah
baiat itu selesai dan musim haji juga telah selesai, maka Rasulullah
mengirim duta yang pertama ka Yatsrib bersama-sama dengan mereka. Tugas
itu dipimpin oleh Mush’ab bin Umair Al-Abdary. Bait Aqabah ini terjadi
dua kali, yang dikenal dengan Baitul Aqabah Pertama dan Baiatul Aqabah
Kedua.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan masalah ini secara rinci dari
Jabir, dia berkata, “Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, untuk hal apa kami
berbaiat kepada engkau?” Kemudian Beliau menjawab sebagaimana yang
dihimpunan didalam kausul bait yaitu:
- Untuk mendengar dan taat takkala bersemangat dan malas
- Untuk menafkahkan harta takkala sulit dan mudah
- Untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar
- Untuk tegak berdiri karena Allah dan tidak merisaukan celaan orang yang suka mencela karena Allah.
- Hendaklah kalian menolongku jika aku datang kepada kalian, melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian sendiri, istri, anak-anak kalian dan bagi kalian adalah surga.
III. PERIODE MADINAH
- Hijrah Ke Madinah
Hijrah
terjadi setelah peristiwa Bait Aqabah kedua. Hijrah ini bukan sekedar
mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda dan menyelamatkan diri
semata, setelah hak mereka banyak yang dirampas. Tapi bisa saja mereka
akan mengalami kebinasaan pada permulaan hijrah itu atau pada akhirnya.
Hijrah ini juga menggambarkan sebuah perjalanan ke masa depan yang serba
mengambang, tidak diketahui apa duka dan lara yang akan menyusul
dikemudian hari. Sekalipun orang-orang Muslim menyadari semua itu toh
mereka tetap mulai berhijrah. Sementara orang-orang Musyrik berusaha
untuk menghalangi agar orang-orang Muslim tidak bisa keluar dari Makkah.
Sebab jika dibiarkan, mereka menyadari akibatnya dikemudian hari.
- Dakwah Di Madinah
- Membangun Masjid
Ketika
Rasulullah saw tiba di Madinah, Beliau singgah di Bai Najjar pada Hari
Jumat 12 Rabiul Awwal 1 H, bertepatan 27 September 622 M, di situlah
onta yang Beliau kendarai menderum di hamparan tanah tepatnya di depan
rumah Abu Ayyub, maka Beliau bersabda, “Di sinilah tempat singgah insya
Allah.”[9]
Berawal
dari peristiwa hijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah,
rasulullah saw. Paham betul dengan keadaan para sahabat, terutama
masalah tempat tinggal yang harus mereka tempati, ketika pertama kali
mereka sampai di madinah. Oleh karena itu Rasulallah mengambil inisiatif
untuk mendirikan masjid sebagai wahana tempat tinggal bagi para sahabat
yang miskin, yang datang ke madinah tanpa membawa harta, tidak
mempunyai kerabat dan masih bujangan atau belum berkeluarga.[10]
Masjid
bukan hanya sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tapi juga
merupakan sekolahan bagi orang-orang muslim untuk menerima pengajian
Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai
unsure kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa jahiliyah.
Masjid juga sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus
sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda
pemerintahan. Juga merupakan sebuah organisasi sosial yang bergerak
dibidang penyantunan anak yatim, fakir miskin, dan lainnya. Disamping
itu masjid sebagai tempat penampungan orang-orang yang sedang mengemban,
mencari ilmu serta penginapan sementara bagi tamu-tamu resmi dari
negeri lain, seperti yang dilakukan Rasulallah terhadap delegasi dari
Nasrani Najran.[11]
- Mempersaudarakan Kaum Muhajirin Dan Kaum Anshar
Sebagaimana
yang kita ketahui kaum muslimin yang hijrah ke Madinah mereka
meninggalkan keluarga, tanah air serta tempat tinggal yang mereka
cintai. Oleh karena itu adalah langkah yang sangat tepat apa yang telah
dilakukan oleh Rasulallah yaitu mempersaudarakan kaum muhajirin dan kaum
anshar dengan harapan mereka saling tolong menolong khususnya kaum
anshar yang sangat diharapkan sekali bantuan dan perlindunga terhadap
kaum muhajirin.
Ibnu Qayyim menuturkan: “kemudian Rasulallah
mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan kaum anshar di rumah Anas bin
Malik, mereka yang dipersaudarakan ada 90 orang, separuh dari kaum
muhajirin dan separuh dari kaum anshar. Beliau mempersaudarakan mereka
agar saling tolong-menolong, saling mewarisi harta jika ada yang
meniggal dunia disamping kerabatnya. Waris mereka itu berlaku hingga
perang badar.[12]
Rasulallah
mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum muhahirin dan kaum anshar
atas dasar kebenaran dan rasa persamaan, bahkan mereka dipersaudarakan
untuk saling mewarisi sepeninggalan mereka, sehingga pengaruh ukhuwah
Islamiyah lebih kuat dan membekas dari pada pengaruh ikatan darah.[13]
Hikmah dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan segala bayangan
yang akan membangkitkan api permusuhan lama dikalangan mereka. Adapun
hikmah lain sebagaimana yang dikatakan Muhammad Al-Ghazali yaitu: “agar
fanatisme jahiliyah menjadi cair dan tidak ada sesuatu yang dibekali
kecuali Islam.[14]
- Piagam Madinah
Tidak
lama setelah Nabi Saw menetap di Madinah (± 2 tahun) beliau
mempermaklumkan satu piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antara
komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang
majemuk di madinah. Piagam tersebut lebih dikenal dengan “piagam
Madinah”.[15]
Ibnu
Ishaq berkata;”setelah itu Rasulallah membuat perjanjian antara kaum
muhajirin dengan kaum anshar. Dalam perjanjian itu, Rasulallah tidak
memerangi orang-orang yahudi, membuat perjanjian merekam, mengenai agama
dan harta mereka serta membuat persyaratan dengan mereka (orang-orang
yahudi).[16]
Banyak
diantara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa piagam
Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi Negara Islam
yang pertama yang dibuat oleh Nabi Saw di Madinah. Satu hal yang patut
di catat, bahwa piagam Madinah yang oleh banyak pakar politik
didakwahkan sebagai konstitusi Negara Islam yang pertama itu tidak
menyebut Negara agama.[17]
Mengenai
kandungan piagam Madinah, kalau merujuk kitab-kitab sirah, banyak
sekali ditulis isi-isi piagam Madinah, namun melalui tulisan ini kami
tidak menyebutkan isi piagam Madinah tersebut, pembaca bisa merujuk
dikitab sirah. Akan tetapi kami mencoba untuk merangkum isi kandungan
dari piagam Madinah. Menurut hemat kami batu-batu yang diletakkan oleh
piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk
masyarakat majemuk di Madinah. Setidaknya ada dua poin yang perlu
dicatat, yaitu:
a) Semua pemeluk agama Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas.
b)
Hubungan antara sesama komunitas Islam dan anggota komunitas Islam
dengan komunitas lainnya didasarkan pada prinsip-prinsip; bertetangga
dengan baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membela mereka yang
teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Perjanjian
tersebut menunjukkan keadilan Nabi saw terhadap pihak yahudi.
Perjanjian yang adil antara kaum muslimin dengan pihak yahudi. Akan
tetapi orang-orang yahudi tidak mentaati perjanjian yang telah
disepakatinya. Mereka tidak saja mengindahkan tugas-tugas yang telah
ditetapkan dalam dokumen, tetapi justru mereka menjadi agresif. Maka
dari itu, Nabi saw mengambil tindakan untuk mengusir mereka dari
Madinah. Pengusiran tersebut dilakukan kepada Bani Qainuqa’, Bani Nadzir
dan Bani Quraizhah.[18]
- Pertempuran Yang Pernah dilakukan Rasulullah
Mengenai
pertempuran banyak sekali yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan para
sahabatnya. Di antaranya Perang Badar, Perang Uhud, Perang Ahzab
(Khandak), Perang Bani Quraizah, Perang Bani Mushthaliq atau Perang
Al-Muraisi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di setiap pertempuran
yang beliau pimpin selalu mendapat kemenangan kecuali pada perang Uhud,
itupun dikarenakan pasukan pemanah tidak mengindahkan komando dari Nabi
saw. Mengenai penjelasan lebih luas mengenai pertempuran-pertempuran
yang pernah dilakukan oleh Nabi saw dapat dirujuk pada kitab-kitab
Sirah.
Apabila kita mengamati pertempuran yang dilakukan
Rasulullah saw dan pengiriman satuan pasukan, maka tidak ada pilihan
bagi kita dan bagi siapapun yang bisa mengamatinya, melainkan mengatakan
bahwa beliau adalah komando militer terbesar di dunia, yang paling
besar, paling tajam kekuatan firasatnya dan paling teliti. Beliau tidak
turun dalam kancah perjuangan melainkan menampakkan tekad yang bulat,
keberanian dan kejelian. Karena itu Beliau tidak pernah mengalami
kegagalan karena salah dalm mengambil kebijaksanaan, mengatur pasukan,
menyusun strategi, menentukan tempat dan menempatkan bentuk serangan.
- Perjanjian Hudaibiyah
Bangsa
Quraisy’ menyadari posisinya yang cukup rawan. Maka mereka mengutus
Suhail bin ‘Amr untuk mengadakan perundingan dengan Rasulallah Saw.
Adapun hasil perundingan tersebut adalah:[19]
- Rasulallah harus pulang pada tahun dan tidak boleh memasuki Makah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Makah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy’ tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.
- Gencatan senjata diantara kedua belah pihak selama 10 tahun, diantara mereka tidak boleh saling memerangi antara satu sama lain.
- Siapa yang ingin bergabung dengan Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, begitu sebaliknya dengan pihak Quraisy’. Kabilah manapun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah tersebut menjadi pihaknya sehingga penyerangan yang ditujukan kepada kabilah tertentu, dianggap sebagai penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
- Siapapun orang Quraisy’ yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya (melarikan diri) maka dia tidak boleh dikembalikan kepadanya.
Perjanjian Hudaibiyah ini mengakhiri berbagai macam pergolakan-pergolakam yang terjadi yang terjadi di Madinah.
- Umrah Qadha’
Al-Hakim
menuturkan, “Dengan tibanya bulan Dzul-Qa’dah, tersiar kabar bahwa
Rasulullah dan para sahabat hendak melaksanakan umrah qadha’. Siapapun
yang dulu ikut dalam peristiwa Hudaibiyah disuruh berangkat. Karena itu
mereka pun berangkat kecuali yang mati syahid. Di samping mereka, ada
pula orang-orang yang memang ingin melakukan umrah. Jumlah mereka dua
ribu orang selain wanita dan anak-anak.
IV. FATHUL MAKKAH
Ibnu
qoyim berkata: “Ini merupakan penaklukan terbesar yang dengannya Allah
memuliakan agama, Rasul, para prajurit dan pasukannya yang dapat
dipercaya, yang dengan penaklukan ini pula dia menyelamatkan negeri dan
rumahnya, yang telah dijadikan sebagai petunjuk bagi semesta alam,
menyelamatkannya dari cengkeraman tangan orang-orang kafir dan musyrik.
Ini merupakan penaklukan dan sekaligus kemenagan yang telah dikabarkan
dari langit yang kemudian semua manusia masuk ke dalam agama Allah
secara berbondong-bondong, sehingga wajah bumi berseri-seri memancarkan
cahaya dari keceriaan”.[20] Fathul Makkah ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 dari Hijrah
Adapun
yang menyebabkan pembebasan kota Makkah ini akibat dari konflik antara
bani baker dan bani khuza’ah. Bani baker berpihak kepada bangsa
Quraisy’, sedangkan bani khuza’ah berpihak kepada Rasulallah. Menurut
beberapa sejarahwan, bangsa Quraisy’ secara terbuka membantu bani baker
dengan tentara dan senjata. Iklimah bin Abu Jahl, Sofyan bin Umayah,
Suhail bin Amr dan lain-lain ikut ambil bagian dalam perang dengan cara
menyamar. Bani khuza’ah lalu berlindung di Makah, tetapi bani bakar
tidak berhenti membunuhi bani khuza’ah walaupun ditanah suci (haram),
padahal menurut tradisi yang dijunjung tinggi orang arab, di tanah suci
ini dilarang menumpahkan darah. Bani khuza’ah lapor kepada pihak
Quraisy’ tetapi mereka tidak peduli , akhirnya bani khuza’ah mengirim
perutusan ke Madinah, memohon Rasulallah agar memberi perlindungan.
Setelah bermusyawarah, bertukar pikiran dengan para sahabat, Rasulallah
mengirim pesan kepada bangsa Quraisy’ dengan tiga syarat, dan memilih
salah satu syarat tersebut:[21]
- Bangsa Quraisy harus membayar tebusan darah bagi orang-orang bani khuza’ah yang terbunuh, atau
- Mereka tidak berbuat apa-apa terhadap segala hal yang menimpa bani bakar, atau
- Agar mereka menyatakan gencatan senjata hudaibiyah tidak berlaku lagi.
Pihak
Quraisy tidak mau menerima salah satu dari dua syarat pertama, bahkan
mereka mengirim pesan kepada Rasulallah melalui Qurth bin Umar bahwa
mereka hanya mau menerima syarat yang ketiga saja. [22]
Pada hari kedua setelah penaklukan, Rasulullah saw menyampaikan pidatonya di hadapan kaum Muslimin, “Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mensucikan Makkah pada saat
Dia menciptakan langit dan bumi. Makkah adalah tempat yang suci dengan
kesucian Allah hingga hari Kiamat. Tidak diperkenankan orang yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menumpahkan darah di dalamnya
atau menebang pohon. Apabila seseorang yang menganggap bahwa ada
keringannan bagi Rasulullah untuk berperng, maka katakanlah,
‘Sesungguhnya Allah telah mengizinkan hal itu bagi Rasul-Nya dan tidak
mengizinkan bagi kalian’. Kesuciannya telah kembali pada hari ini
seperti kesuciannya yang terdahulu. Hendaklah yang hadir di sini
menyampaikan hal ini kepada yang tidak hadir.”penaklukan Makkah
merupakan peperangan yang final, melumatkan paganisme secara total,
karena itu bangsa Arab bisa mengetahui mana yang haq dan mana yang
batil, tidak lagi dihantui keraguan-keraguan, dan setelah itu mereka pun
buru-buru masuk Islam.
V. HAJI WADA’
Tuntas
sudah pekerjaan berdakwah, menyampaikan risalah. Maka Rasulullah
mengumumkan niatnya untuk melaksanakan haji yang mabrur. maka manusia
datang berbondong-bondong ke Madinah, yang semuanya hendak ikut beliau
jumlah mereka semuanya adalah seratus dua puluh empat ribu atau seratus
empat puluh ribu orang muslim. Pada saat pelaksanaannya beliau
menyampaikan pidatonya menyampaikan pesan-pesan terakhirnya kepada kaum
Muslimin.[23]
Haji wada’ adalah kenang-kenangan terakhir beliau dengan para
sahabat-sahabatnya tercinta. Di akhir khutbah wada’, beliau berpesan
kepada umat; rasanya tugas yang ia pikul sudah selesai, setelah ia
berkhutbah beliu bersabda, “Ya Allah persaksikanlah, hendaklah yang
hadir mengabarkan yang tidak hadir. Waktu itu para sahabat tercengang
seakan-akan ia berpidato untuk yang terakhir kalinya.
VI. RASULULLAH WAFAT
Setelah
ibadah haji wada’ selesai dilaksanakan oleh Nabi dan para sahabatnya
pengaruh agama Islam semakin mengakar dan tersebar di segenap penjuru
dunia, seluruh manusia tahu tentang ajaran Muhammad yang dibawanya yaitu
menghadapakan wajah hanya kepada Allah yang maha kuasa, qalbu beriman
hanya kepada Allah yang Maha Esa.
Pada tanggal dua puluh sembilan
Shafar 11 H bertepatan dengan hari Senin Rasulullah menghadiri prosesi
jenazah di Baqi’. Sepulang dari Baqi’ dan selagi dalam perjalanan beliau
merasakan pusing di kepala dan panas tubuhnya langsung melonjak. Beliau
sakit selama 13 atau 14 hari, dan tetap shalat bersama orang-orang
selama 11 hari dari masa sakitnya. Sebelum wafat beliau memerdekakan
para pembantu laki-lakinya sehari menjelang beliau wafat, dan beliau
menshadaqahkan tujuh dinar harta dan senjata kepada orang-orang Muslim.
Tibalah detik-detik terakhir dari hidup Beliau. Aisyah menarik tubuh
beliau kepangkuannya. Sebagaimana yang dikatakannya, “Sesungguhnya
diantara nikmat Allah yang dilimpahkan kepadaku, bahwa Rasulullah saw
meninggal dunia di rumahku, pada hari giliranku, berada dalam rengkuhan
dadaku, bahwa Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat
wafat.
Kabar kesedihan langsung menyebar. Seluruh pelosok Madinah
seperti berubah menjadi muram. Anas menuturkan;”Aku tidak pernah melihat
suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain dari hari saat
Rasulallah saw masuk ke tempat kami, dan tidak kulihat hari yang lebih
buruk dan lebih muram selain dari hari saat Rasulallah meninggal dunia”.
Bahkan
ketika Umar bin Khatab mendengar kematian beliau secara tidak sadar ia
berkata:”Sesunggunya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulallah
akan meninggal dunia. Sesungguhnya beliau tidak meninggal dunia, tetapi
pergi ke hadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang
pergi dari kaumnya selama 40 hari, lalu kembali lagi. Demi Allah
Rasulallah benar-benar akan kembali. Maka orang yang beranggapan bahwa
beliau meninggal dunia harus dipotong tangan dan kakinya”. Akan tetapi
Abu Bakar menyadarkan Umar bin Khatab atas sikapnya terhadap Rasulallah.[24]
REFERENSI:
¶ Syaikh Safiyurrahman Al-Mubarrkfury,sirah nabawiyah (pustaka Al-Kautsar, Jakarta:2000).
¶ M. Said Ramadhan Al-Buthy,sirah Nabawiyah, (Rabbani Press, Jakarta, cet.VI).
¶ M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Pustaka Nasional, Bogor:1998, cet.III).
¶ H. Munawwir Sjazali, Islam dan tata Negara, (UI Press, Jakarta: 1990, cet.II).
¶ Abu M. Malik bin Hisyam Al-Muafiri, sirah nabawiyah ibnu hisyam, (Darul Falah, Jakarta: 2004, cet. IV).
¶ Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani, (GIP, Jakarta, cet. II).
¶ Dr. Majid ‘Ali Khan, Muhammad Saw rasul terakhir, (Salmania, Bandung:1985, cet. I).
[1] Syaikh Safiyurrahman Al-Mubarrkfury,sirah nabawiyah(pustaka Al-Kautsar, Jakarta:2000), hal.90
[2] Ibid, hal. 103
[3] Ibid, hal. 104
[4] Ibid, hal. 108
[5] Ibid hal. 123
[6] Ibid hal 151
[7]Keterangannya bisa dilihat di Ar-Rahiqul Makhtum karya Al-Mubarakfury hal 191.
[8] Ibid hal. 200
[9] Ibid, hal. 247
[10] Ibid, hal.428
[11] Ibid, hal.248
[12] Ibid
[13] M. Said Ramadhan Al-Buthy,sirah Nabawiyah, (Rabbani Press, Jakarta, cet.VI), hal.173
[14] M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Pustaka Nasional, Bogor:1998, cet.III), hal.279
[15] H. Munawwir Sjazali, Islam dan tata Negara, (UI Press, Jakarta: 1990, cet.II), hal.10
[16] Abu M. Malik bin Hisyam Al-Muafiri, sirah nabawiyah ibnu hisyam, (Darul Falah, Jakarta: 2004, cet. IV), hal. 454
[17] H. Munawwir Sjazali, Islam dan tata Negara, op. cit. hal.16
[18] Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani, (GIP, Jakarta, cet. II), hal. 108
[19] Syaikh Safiyurrahman Al-Mubarrkfury,sirah nabawiyah, op. cit. hal. 444
[20] Ibid, hal. 517
[21] Dr. Majid ‘Ali Khan, Muhammad Saw rasul terakhir, (Salmania, Bandung:1985, cet. I), hal. 222
[22] Ibid
[23] Isi pidatonya bisa dilihat di Kitab Ar-Raqul Makhtu karaya Al-Mubarakfuri hal. 606.
[24] Ibid, hal. 620
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu