URGENSI BAI'AT DAN KORELASINYA DENGAN DA’WAH
Oleh : Gustian dan Suwandi Ibn Husaini
a) Riwayat Imam Al-Bukhari
حد
ثنا موســى بن إسماعيل قال حدثنا وهـيب قال حد ثنا عمروابن يحــي عن عباد
بن تميم عن عبدالله بن زيدرضي الله عنه قال لمـا كان زمن الحـرةأتاه أت
فقال له إن ابن حنظلة يبايع الناس على الموت فقال له لا أبايع على هـذا
أحدا بعد رسـو ل الله صلى الله عليه وسـلم. (رواه البخاري)
Telah
meriwayatkan kepada kami Musa bin Ismail ia berkata, telah meriwayatkan
kepada kami Wuhaib ia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Amru bin
Yahya dari Abbad bin Tamim dari Abdullah bin Zaid Radiyallahu Anhu ia berkata, “Pada
suatu ketika tatkalah suasana genting datanglah seseorang seraya
berkata kepadanya, sesungguhnya Ibnu Handhalah telah di Bai’at oleh
orang-orang atas kematian. Maka Zaid berkata, “Saya tidak akan berbai’at kepada seorang pun setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” (Riwayat Imam Bukhari).[1]
Dalam riwayat lain dengan jalur sanad yang berbeda dinyatakan sebagai berikut;
حد
ثنا إسماعيل, عن أخيه, عن سـليمان,عن عمروابن يحـي,عن عبــــاد بن تمـيم
قال: لمـا كان يوم الحـرةوالناس يبايعون لعـبد الله بن حنظلة, فقـال إبن
زيـد:على ما يبايع إبن حنـظلة الناس ؟ قيل له: على الموت, قـال:لاأبايع على
ذالك أحدا بعد رسـو ل الله صلى الله عليه وسـلم, وكـــان شهد معه
الحديبية.(رواه البخاري)
Telah meriwayatkan kepada kami Ismail,
dari saudaranya, dari Sulaiman, dari Amru bin Yahya, dari Abbad bin
Tamim ia berkata, Pada suatu hari dimana suasana dalam peperangan, maka
orang-orang berbai’at kepada Abdullah ibn Handhalah. Maka berkatalah
(yaitu) Abdullah ibn Zaid, “Atas hal apa mereka berbai’at kepada Ibnu Handhalah?” Dikatakan kepadanya, “atas kematian.” Ia (Ibn Zaid) berkata, “Saya tidak akan berbai’at atas hal itu setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Ia (Abdullah bin Zaid) termasuk salah seorang yang turut berjihad dalam peperangan Hudaibiyah. (Riwayat Imam Al-Bukhari).[2]
b) Riwayat Imam Muslim
حد
ثناه إسحاق بن إبراهيم: أخبرنا المخزومي: حدثنا وهـيب: حد ثنا عمروابن
يحــي عن عباد بن تميم, عن عبدالله بن زيدرضي الله عنه قال:أتاه أت فقال:
هذاك ابن حنظلة يبايع الناس,فقال على ماذا! قال: على الموت,قال لا أبايع
على هـذا أحدا بعد رسـو ل الله صلى الله عليه وسـلم. (رواه المسلم)
Telah
meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim: telah mengabarkan kepada
kami Al-Makhzumy: telah meriwayatkan kepada kami Wuhaib, telah
meriwayatkan kepada kami Amru bin Yahya dari Abbad bin Tamim dari
Abdullah bin Zaid Radiyallahu Anhu ia berkata, Telah datang seseorang sambil berkata, “Itu Ibnu Handhalah yang telah dibai’at oleh orang-orang.” Maka ia (Abdullah Ibn Zaid) mengatakan, “atas hal apa (ia dibai’at).” kemudian (orang itu) menjawab: “Atas kematian.” Ia berkata, “Saya tidak akan berbai’at kepada seorang pun atas hal (kematian) ini setelah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.” (Riwayat Imam Muslim).[3]
c) Riwayat Imam Ahmad Bin Hambal
حد
ثناعفـان.قال:حدثنا وهـيب قال:حد ثنا عمروبن يحـي عن عبــاد بن تميم عن
عبـدالله بن زيـد رضي الله عنه قال لمـا كان زمن الحـرةأتاه أت فقال:
هذاابن حنظلة, (وقال عفان مرة:هذاك إبن حنظلة) يبايع الناس, قال:على أي شيء
يبايعهم؟ قال:على الموت,قال لا أبايع على هـذا أحدا بعد رسـو ل الله صلى
الله عليه وسـلم. (رواه أحمد)
Telah meriwayatkan kepada kami Affan
ia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Wuhaib ia berkata, telah
meriwayatkan kepada kami Amru bin Yahya dari Abbad bin Tamim dari
Abdullah bin Zaid Radhiyallahu Anhu ia mengatakan: “Pada
suatu ketika tatkalah suasana genting datanglah seseorang seraya
mengatakan, Ini Ibnu Handhalah, (dan Affan bekata: Itu Ibnu Handhalah)
yang telah dibi’at oleh orang-orang. Zaid bertanya: ”Tentang hal apa orang-orang berbai’at kepadanya?” kemudian dijawab; “Tentang kematian.” Lalu ia berkata: “Saya tidak akan berbai’at tentang hal ini kepada seorang pun setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” (Riwayat Imam Ahmad).[4]
Perbedaan
redaksi dari riwayat-riwayat di atas, walaupun Imam Bukhari
meriwayatkan dengan sanad yang berbeda dengan Imam Muslim dan Imam Ahmad
bin Hambal. Ternyata jika ditelaah lebih dalam dapat diketahui bahwa
rawi-rawinya bertemu pada rawi yang bernama Wuhaib. Setidaknya jika
disebutkan dan digambarkan lebih rinci, maka jalur rawi tersebut akan
terlihat sebagai berikut:
- B. Dalil Pendukung
- Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil
amri di antara kamu kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’: 59)
Artinya: “Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka maka
barangsiapa yang melanggar janjinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Qs. Al-Fath: 10)
Artinya : “Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at
kepadamu dibawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati
mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada
mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya”. (Qs. Al-Fath:18).
- Hadist Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:
من أطا عني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع أميري فقد أطاعني ومـــن عصى أميري فقد عصاني. (رواه البخــاري)
“Barangsiapa
yang taat kepadaku sesungguhnya ia taat kepada Allah. Barangsiapa yang
berma’siat kepadaku sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah barangsiapa
taat kepada amir (penguasa) sungguh ia taat kepadaku. Dan barangsiapa
yang bermaksiat kepada amir sungguh ia bermaksiat kepadaku.” (HR. Riwayat Bukhari).
Dalam riwayat yang lain Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
من خلع يدا من طا عــة لقـي الله يوم القيـامة لا حجة له ومن مـات وليس في عنقه بيعة مـات ميتة الجا هلية. (رواه مسلم)
“Barangsiapa
melepaskan keta’atan dari penguasa, niscaya akan menjumpai Allah tanpa
memeiliki hujjah. Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan bai’at maka
kematiannya seperti kematian jahiliyyah”. (HR. Muslim).
- C. Pembahasan
- Pengertian Bai’at
Secara etimologis kata بيعة berasal dari akar kata بيعى (menjadi باعى)
yang berarti menjual. Bai’at adalah kata jadian yang mengandung arti
perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia, karena dalam
pelaksanaanya selalu melibatkan dua pihak secara sukarela. Bai’at
berarti juga berjabat tangan untuk bersedia menjawab akad transaksi
barang atau hak dan kewajiban, saling setia dan taat.[5]
Menurut
Ibnu Khaldun secara terminilogis baiat adalah perjanjian orang yang
berbai’at untuk taat melakukan sumpah setia kepada pemimpinnya bahwa ia
akan menyelamatkan pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa
perintah yang disenangi maupun tidak disenangi. Sedangkan menurut Ibnu
Manzur bai’at adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang
seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya, menyerahkan
dirinya dan kesetiannya kepada pihak kedua secara ikhlash dalam
urusannya.[6]
Secara umum dapat dikatakan bahwa bai’at merupakan suatu transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat Islam dalam mendirikan Daulat Islamiyah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[7]
- Urgensi dan Kedudukan Bai’at dalam Islam
Pada
masa Rasulullah terjadi beberapa kali bai’at antara lain Bai’at Aqobah
pertama dan Kedua. Bai’at Aqobah pertama merupakan kontrak perjanjian
sosial dan janji setia untuk berprilaku Islami serta terdapat
rambu-rambu bagi masyarkat Islam. Sedangkan Bai’at Aqobah kedua
merupakan kontrak politik antara umat Islam dan pemimpin. Dua bai’at ini
merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam
pembinaan di negeri itu.
Disamping itu kaum muslimin yang
menyertai Nabi dalam perjalanan ke Mekkah untuk umrah tahun keenam
hijriyah juga berbai’at kepada beliau di bawah pohon. Bai’at ini terjadi
sebelum perjanjian Hudaibiyyah. Kemudian bai’at yang dilakukan oleh
penduduk Mekkah kepada Rasulullah ketika pada masa Fathul Mekkah.
Bai’at
dalam kerangka umum mempunyai tiga unsur pokok, pertama pihak yang
menganmbil bai’at; kedua, pihak yang memberi bai’at kepada orang yang
menjadi pemimpin; dan yang ketiga, topik bai’at yaitu mendirikan Khilafah Islamiyah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Bai’at
merupakan suatu prinsip Islam. Karena dalam tradisi kenabian umat Islam
senantiasa memberikan bai’at kepada Rasulullah Saw, semasa hidupnya.
Begitupun setelah Nabi wafat bai’at tetap berlaku, yang diberikan kepada
Khulafa’ Rasyidin atau orang-orang tertentu yang memimpin umat Islam
selama beberapa abad, sampai jatuhnya sistem pemerintahan Islam, yaitu
kekhilafahan Turki Utsmani.
Bai’at dalam Islam memiliki kedudukan
yang cukup urgen. Karena substansi bai’at yang telah dilakukan (baik
kepada Rasulullah atau kepada pemimpin kaum muslimin) bermuara atau
berisikan bai’at kepada Allah Swt.
Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ubadah bin Shamit dikatakan bahwa
tuntutan untuk saling bai’at diantara para sahabat merupakan suatu yang
sunnah dan pelanggarannya secara sengaja adalah maksiat.[8]
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Siapa
yang membai’at seorang Imam sambil memberikan jabat tangannya, maka
hendaklah ia mentaati semampunya. Jika datang pihak yang menyerang,
hendaklah ia memukul tengkuk yang menyerang itu.” (HR. Muslim).
Selain
berdasarkan ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi Saw, bai’at juga didasarkan
pada kesepakatan atau ijma’ kaum muslimin. Sejak zaman shahabat hingga
sekarang, orang Islam telah sepakat akan pentingnya bai’at.
- Korelasi Bai’at dengan Da’wah
- Bai’at Sebagai Tema Da’wah
Ketika
seorang da’i membicarakan tema tentang pentingnya ketaataan, maka hal
ini cukup pararel jika dikaitkan dengan bab bai’at. Karena didalam
pembahasan tentang bai’at di dalamnya terkandung unsur-unsur ketaatan,
ketaatan kepada Allah, ketaatan kepada Rasulullah dan kepada para
pemimpin kaum muslimin.
Imam al-Qurthubi ketika mengomentari hadist yang berbunyi Man
Athaa’anii Faqad Ataa’allah Waman Ashaani Faqad Ashallah (barang siapa
yang taat kepadaku maka sungguh ia telah mentaati Allah dan barangsiapa
yang bermaksiat kepadaku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah), beliau mengatakan, bahwa hadist ini merupakan pendukung firman Allah Subhanahu wa Taala berikut ini.
Artinya:“Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Qs. An-Nisa’:80)
Karena
itu, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw merupakan perantara untuk
menyampaikan perintah Allah dan hikmah-hikmahnya serta menyuruh
(manusia) untuk taat kepada-Nya, maka barangsiapa yang mentaatinya maka
sungguh ia telah taat atas perintah-perintah Allah.[9]
Secara
operasional kepemimpinan Allah Swt, itu dilaksanakan oleh Rasulullah
Saw, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh
orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan didalam al-Qur’an:
Artinya:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah). (Qs. Al-Maidah:55).
Kepemimpinan diatas dalam ayat lain diartikan dengan ulil amri.[10] Sebagai mana firman Allah Swt. berikut ini;
Artinya:”Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”(Qs. An-Nisa’: 59).
Maka tugas seorang da’i
seyogyanya menganjurkan manusia dan mencintai mereka dalam ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah berfirman;
Artinya: “Dan
Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin,[11]
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah
teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah,
dan Allah cukup mengetahui.” (Qs, An-Nisa’: 69-70)
Selanjutnya
seorang da’i juga dituntut untuk memberikan peringatan kepada manusia
agar mereka tidak bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. karena itu
Rasulullah Saw, bersabda; “Waman Ashaani Faqad Ashallah”, hal ini merupakan penjelasan dari firman Allah berikut ini,
Artinya: “Dan
Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14)
Dalam Ayat yang lain Allah Swt, berfirman;
Artinya: “Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah
Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36).
- Bai’at Sebagai Sarana Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Bai’at
yang kita lakukan kepada seorang pemimpin pada intinya adalah supaya
kita taat dan patuh. Namun apabila seorang pemimpin yang tidak lagi
menunjukkan sikap kepemimpinannya yang sesuai dengan Al-Quran dab
As-Sunnah maka melalui bai’at yang kita lakukan bisa menjadi alasan
untuk kita bisa menasehati pemimpin yang dzalim.
Dalam menasehati
pemimpin yang dzalim kita harus menjauhi sikap memberontak, membangkang,
mencaci-maki dan menghina, serta menanamkan antipati dalam hati rakyat
terhadapnya (menjadi provokator).
Berkaitan dengan tindak tanduk
penguasa, ada dua kelompok yan menyikapinya dengan dua sikap yang
keliru. Salah satunya menilai alhakim adalah seorang manusia yang
ma’sum, yang terjaga dari kesalahan, segala tindakannya adalah benar,
karena ia menghukumi berdasarkan perintah Allah. Kedudukannya, layknya
seorang nabi dalam setiap tindakan dan ucapan. Ini adalah menurut
pendapat Syi’ah.
Sedangkan kelompok kedua memiloki pandangan dan
sikap yang bersebarangan dengan yang pertama. Yaitu apabila penguasa
melakukan sebuah kesalahan, maka kesalahan itu dibesar-besarkan, bahkan
kadang-kadang dikafirkan karenanya. Dan menurut mereka, wajib melakukan
pemberontakan kepadanya. Dua golongan ini bertentangang dengan Sunnah
Rasulullah saw.
Seperti biasanya, Ahlu Sunnah berada di posisi
tengah, dengan mengatakan, seorang penguasa adalah manusia biasa. Dia
memiliki potensi melakukan kesalahan dan kebenaran. Sebagian tindakannya
ada yang benar, dan ada tindakannya yang salah. namun, munculnya
kesalahn tidak membolehkan untuk memberontak, dicaci, dihina
kehormatannya, dan tidak boleh menumbuhkan hati masyarakat menjadi
antipati kepadanya. Ynag harus dikerjakan adalah; menasehatinya dan
menjelaskan kesalahannya melalui mekanisme yang dibenarkan oleh syari’at
dan mempertimbangkan situasi serta kondisi, berdasarkan Sunnah
Rasulullah saw.
Sabda Rasulullah saw:
إن الله يرضى لكم ثلا ثا: (منها) وأن تنا صحوا من ولاه الله أمركم. (رواه إمام أحمد و إمام مالك).
“Sesungguhnya
Allah meridhai tiga hal pada kalian diantaranya; kalian menasehati
orang-orang ynag Allah jadikan penguasa atas kalian.” (HR Imam Ahmad dan Imam Malik)
4. Bai’at dan Kaitannya dengan Konteks Kekinian
Nabi
saw telah mensyari’atkan semua perkara yang bermanfaat dan mencegah
yang berbahaya. Termasuk di dalamnya, perkara yang dikandung oleh
nash-nash syari’at tentang muamalat dengan para penguasa. Nash-nash itu
memaparkan masalah ini dengan sangat jelas. Dan diketahui oleh para
cendekia, bahwa Allah telah menciptakan manusia, dan menjadikannya
mempunyai kecenderungan untuk suka bergabung dengan orang lain. Sudah
diketahui pula, yang namanya kelompok pasti membutuhkan pemimpin.
Kepentingan rakyat tidak akan lurus sampai terwujud eksistensi seorang
pemimpin yang akan mewujudkan mashlahat dan menolak bahaya melalui
kekuasaannya.[12]
Apabila
kondisi sosial menjadi stabil pada masanya, maka setiap orang yang
berada di bawah kekuasaanya, wajib meyakini bahwa sang penguasa berhak
dibai’at oleh mereka. Meskipun ia tidak pergi untuk membai’tnya. Karena,
agar bai’at itu sempurna, tidak harus melakukannya secara langsung.
Masalah ini menurut para fuqaha’, apabila para tokoh yang terpandang dan
kemudian keadaan menjadi stabil pada seorang penguasa, maka bai’at
manjadi sah baginya dan berlaku pada semua orang.
Kewajiban setiap
orang, ia harus meyakini ada tuntutan bai’at atasnya. Ini merupakan
kewajiban syari’at. Seorang muslim tidak boleh keluar darinya. Orang
yang tidak meyakini kewajiban bai’at kepada penguasa di negerinya yang
menjadi kewajibanya. Ia terancam dengan ancaman yang keras.
Sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa
melepaskan ketaatan dari penguasa, niscaya menjumpai Allah tanpa
memiliki hujjah (alasan). Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan bai’at,
maka kematiannya seperti kematian jahiliyah.” (HR Muslim, no. 3441)
Seorang
muslim yang tidak berkeyakinan membai’at penguasa, ia akan terancam,
kematiannya layaknya kamatian orang jahiliyah. Oleh karena itu kewajiban
seorang muslim harus meyakininya dengan mantap. Dan seyogyanya, seorang
muslim mengetahui bahwa, bai’at kepada penguasa bukan bagai kalung yang
bisa diletakkan dan dicabut kapan saja; jika suka ia pakai, dan bila
tidak suka ia lepaskan. Tetapi kewajiban bai’at tetap berlaku selama
kekuasaan penguasa masih ada di negeri tersebut. Seorang muslim tidak
boleh menarik diri dari baiat. Dari sini dapat ditarik benang merah
bahwa bai’at tetap relevan hingga zaman sekarang. Karena walaupun
sebagai predikat Nabi dan Rasul, tidak bisa digantikan, akan tetapi
sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan.
- D. I’tibar Yang Dapat Diambil
Dari hadist diatas dapat diambil beberapa pelajaran dan manfaat dalam medan da’wah, antara lain:[13]
- Perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.[14]
- Perintah untuk taat kepada para pemimpin kaum muslimin.[15]
- Urgensi jihad bersama pemimpin kaum muslimin untuk menjaga serangan musuh-musuh.[16]
- Urgensi keadilan bagi seorang da’i.[17]
- Tasybih, Targhib dan Tarhib adalah merupakan salah satu dari metode- metode da’wah.
Wallahu A’lam Bishshowab
- E. Maraji’
- Abil Husaini Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naysyaburi.1419.Shahih Imam Muslim, Riyad: Daar as-Salam li an-Nasyr wa at-Tauzi’.
- Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardah rabbah Al-Bukhari. Shahih Imam Bukhari, Beirut: al-Maktabah at-Tsaqafiyyah, jilid, 1.
- Al-Hafidz Abi Abdillah Ahmad bin Hambal.1998. Musnad Imam Ahmad, Riyad: Baitul Afkar ad-Daulawiyyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’.
- al-Qahthani, Said bin Wahf. Fiqh al-Da’wah Shahih Imam al-Bukhari Juz 1, Riyad: Wizaratus Syu’un al-Islamiyyahwal Auqaf wa ad-Da’watu wa al-Irsyadi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah.,
- Dahlan, Abdul Azis. et.all. (Editor). 1999. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jilid, 1 (ABD-FIK).
- Ilyas, Yunahar. 2000. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam.
- Majalah As-Sunnah Edisi 06/X/1427 H/2006 M.
- Wansink, A.Y. 1936. Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fadzil al-Ahaadist an-Nabawy. Madinah: Maktabah Bariel, Juz, 1 (A-H).
[1] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardah Rabbah Al-Bukhari. Shahih Imam Bukhari, Beirut:
al-Maktabah at-Tsaqafiyyah, jilid, 1. Hal, 127, hadist, 165. Adapun
redaksi yang sama dengan riwayat diatas dapat dilihat dalam kitab Imam
Bukhari, jilid III. Kitab Jihad wa Sair, dalam Bab al-Bai’atu fil Harbi Alaa Anla Yafirru. Hadist yang ke 2959.
[2] Shahih al-Bukhari…Jilid III, Kitab Al-Maghazy, Bab, Ghazwah al-Hudaybiyah. Hal. 860, hadist 4167.
[3] Abil Husaini Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naysyaburi. 1429. Shahih Imam Muslim,Riyad: Daar as-Salam li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Hadist 81 (4829).
[4] Al-Hafidz Abi Abdillah Ahmad bin Hambal.1998. Musnad Imam Ahmad, Riyad: Baitul Afkar ad-Daulawiyyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’. Halaman, 1172, hadist, 16585.
[5]Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. Et all. 1999. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, cet. Ketiga, jilid 1 (ABD-FIK), hal. 179. Selanjutnya ditulis Ensiklopedi Hukum Islam...
[6] Ibid
[7]Ibid.
[8]Ensiklopedi Hukum Islam...180
[9] Dr. Said bin Wahf al-Qahthani, Fiqh al-Da’wah Shahih Imam al-Bukhari Juz 1, Riyad: Wizaratus Syu’un al-Islamiyyahwal Auqaf wa ad-Da’watu wa al-Irsyadi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah., bab Yuqaatilu min wara’i al-Imaami wa Yattaqa Bihi. Halaman, 555.
[10] Ulil
Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah Saw setelah beliau
meninggal dunia. sebagai nabi dan rasul,nabi Muhammad saw tidak dapat
digantikan tapi sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan. (Lihat Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak. halaman, 248. )
[11] Ialah:
orang-orang yang Amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan
Inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut
dalam surat Al Faatihah ayat 7.
[12] Majalah As-Sunnah, Edisi 06/X/1427H/2006M. Halaman. 34.
[13] Dr. Said bin Wahf al-Qahthani, Fiqh al-Da’wah Shahih Imam al-Bukhari Juz 1, Riyad: Wizaratus Syu’un al-Islamiyyahwal Auqaf wa ad-Da’watu wa al-Irsyadi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah., bab Yuqaatilu min wara’i al-Imaami wa Yattaqa Bihi. Halaman, 554.
[14] Qs. An-Nisa’:69-70 dan 80.
[15] Qs. An-Nisa’: 59.
[16] Hal ini berdasarkan hadist Rasul Saw, “Innamal Imammu Junnatun Min Waraaihi Wa Yattaqa bihi”. HR. Muslim 12/472, lebih lengkapnya lihat Syarah Imam Nawawi dan lihat juga Fathul Baari Karangan Ibnu Hajar, 6/116.
[17] Hadist ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang da’i dan seorang imam kaum muslimin memiliki sifat adil tersebut. lihat Ikmal Ikmal Mu’allim , syarah shahih Imam Muslim, 6/536.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu