Filsafat Ar-Razi
Oleh: Darwadi
Ar-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi
dilahirkan di Ray dekat Teheran, sekitar pada tahun 865 M / 251 H.
Ar-Razi masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Persia dan hidup
pada masa kejayaan Daulah Abasiyah. Dikala mudanya ia banyak menumpukan
perhatiannya untuk mempelajari matematika, kedokteran dan filsafat alam
(
natural philosophy) serta logika. Adapun gurunya yang banyak berjasa
kepada Ar-Razi hingga menjadi seorang Physician dan filosof terkenal
adalah Hunyn bin Ishak.[1]
Ar-Razi
juga banyak menimba ilmu-ilmu lainnya dari Abu Al-Husen Ali bin Rin
Ath-Thabari. Ia pindah ke Bahgdad dan menjabat sebagai ketua rumah sakit
Al-Adhudi. Dipenghujung usianya, Ar-Razi mnejadi buta, kemudian wafat
di Baghdad pada tahun 320 H / 924 M.[2]
Karir
Ar-Razi sebagai intelektual tampak dengan jelas dari buku-bukunya yang
tidak kurang dari 200 jilid banyaknya tentang medis, astronomi,
kosmologi, kimia, filsafat dan sebagainya.[3]
Ar-Razi terkenal di Barat dengan nama Rhezes dari
buku-bukunya tentang ilmu kedoteran. Bukunya yang terkenal adalah
tentang cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bebagai bahasa di
Eropa dan pada tahun 1866 masih dicetak untuk yang keempat puluh
kalinya. Al Hawi merupakan ensiklopedia tentang ilmu
kedokteran, tersusun lebih dari 20 jilid dan mengandung ilmu kedokteran
Yunani, Syria, dan Arab.[4]
Adapun
karya-karya Ar-Razi yang masih dapat dinikmati sampai sekarangmeskipun
buku-buku tersebut dihimpun dalam satu kitab yang dikarang oleh orang
lain adalah:
Al-Tibb al-Ruhani
Al-Shirath al-Falasafiyah
Amarat Iqbal al Daulah
Kitab al-ladzdzah
Kitab al Ibnu al Ilahi
Makalah fi mabadd altalbiah
Al Syukur ’Ala Proclas[5]
Ar-Razi
dalah filosof yang berani mengeluarkan pendapat-pendaptnya meskipun
pendapat tersebut bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam
yaitu:
- Tidak percaya pada wahyu
- Al-Qur’an bukan mu’jizat
- Tidak percaya pada Nabi-Nabi
- Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan[6]
Meskipun
beberapa pemikiran Ar-Razi bertentangan dangan kepercayaan umat Islam,
pemikirannya telah memberi warna tersendiri dalam filsafat Islam.
Terutama tentang kebesan berfikir dan menemukan kebenaran dalam
menggunakan akal.[7]
b. Akal dan Agama
Corak
Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau
mencari kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya
selektif[8]. Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia
menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal
agar denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah
karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang
berguna untuk kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita
dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita.
Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan
tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan
penting maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh
menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia
adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah,
tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan
masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.[9]
Menurut
Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal;
merubahnya dengan berpatokan kepadanya; bersandar kepadanya dalam
segalanya. Kita juga harus menjalankan segala urusan sesuai
ketentuannya; berhenti karena arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa
nafsu dan meninggalkan akal. Karena nafsu adalah ancaman baginya yang
mengeruhkan kejernihannya; memalingkannya dari jalan, cinta, tujuan dan
konsistensinya.[10]
Ar-Razi
tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa
kehancuran bagi manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan,
pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia.[11]Menurutnya
para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan
khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama
dan keadilan tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak
membedakanya antara seorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa tuhan mengutus para Nabi
padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekliruan. Setiap
bangasa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya kepada Nabi
bangsa lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik, peperangan
dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang
dianutnya.[12]
Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya
tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat
bagi Nabi Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah
konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku
agama.[13]
Keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan
para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang
menyilaukan mata orang bodoh.[14]
Tidak
mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak
perlawanan dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang
kedokteran dipuja akan tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan
banyak mengandung kufurat. Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami
kebutaan maka dikatakan bahwa itu adalah azab dan murka dari Allah
karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah mendapatkan kecaman semasa
dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya adalah seorang ulama
yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933) dalam a’lam
annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat diketahui,
karena tulisan aslinya telas musnah.[15]
c. Prinsip Tentang Lima yang Abadi
Filsafat Al-Razi dikenal dengan ajarannya “ Lima Kekal”, yakni :
- Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
- An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa yang Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
- 3. Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian menyusul air, hawa dan api.
- 4. Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
- 5. Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.[16]
Dari
lima kekelan itu ada dua yang hidup dan bergerak yakni, Tuhan dan ruh
yang pasif dan yang tidak hidup adalah materi pembentuk setiap wujud dan
dua lagi yang tidak hidup, tidak bergerak dan tidak pasif yaitu
kehampaan dan keberlangsungan[17]
Benda tidak dapat terlepas dari yang lima ini sebab:
- Setiap benda perlu ada yang menciptakannya. Sebab itu ia perlu kepada Tuhan Pencipta.
- Diantara benda ada yang hidup. Hidup memerlukan roh. Sebab itu perlu adanya roh.
- Benda adalah materi, yang dengannya ia dapat diinderai.
- Materi mengambil tempat, sebab itu perlu ruang untuk sebagai tempatnya.
- Materi mengalami perubahan, perubahan terjadi dalam waktu.
Hanya
tentang zaman Ar-Razi membaginya atas dua bentuk, ada zaman yang
absolut dan ada zaman yang reltif. Zaman yang absolut bersifat abadi
tidak berawal dan tidak berakhir, tetapi zaman yang relatif dapat
disifati dengan angaka.
Menurut Dr. T.J. De Beor bahwa dasar-dasar
metafisika Ar-Razi berasal dari doktrin-doktrin tua seumpama
pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lain. Puncak
dari metafisikanya itulah Prinsip Tentang Lima Yang Abadi (five co-eternal prinsiples)[18]
d. Hubungan Jiwa dan Materi
Allah
adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan
Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada . karena itu,
alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi awal kekal, sebab
penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.
Jiwa universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-sany
(sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam terdapat daya hidup
dan gerak-- sulit diketahui karena ia tanpa bentuk--yang berasal dari
jiwa universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai
naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi
pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik.
Sedang materi pertama tanpa fisik maka Tuhan datang menolong roh dengan
menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh, agar
jiwa itu dapat melampiaskan nafsu jahatnya dengan mengambil bagian
kesenangan-kesenangan materil untuk sementara waktu.[19]
Kemudian
sebagai alat bagi roh dalam mengenyam dunia Tuhan menciptakan manusia.
Manusia inilah yang ditempati oleh jiwa. Setelah jiwa menempati materi
jasad manusia ia pun lupa kepada tujuan yang sejati, yang berada diluar
materi, ia asik mengenyam kesengan materil yang sensitif.[20] Tuhan menciptakan manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukan bahwa dunia ini bukanlah dunia yang sebenarnya dalam arti hakiki.
Manusia
tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka
yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh
pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap
berada di dunia sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya
kemudian akan diarahkan keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia
dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati
atau dunia hakiki.[21]
e. Moral
Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral, sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah al-falsafiyyah, bahwa
tingkah laku pun mesti berdasrkan kepada petunjuk rasio. Hawa nafsu
haruslah berada pada kendali akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya
minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama,
bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada
gilirannya akan menghancurkan manusia.[22]
Dusta
adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk
kebaikan yang bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat
tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula dengan
kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikiran
tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa
depan, maka hal itu tidaklah buruk. Karena itu, harus ada pembenaran
apabila kikiran orang tersebut mempunyai alasan yang dapat diterima,
maka ini bukanlah kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya
maka hal yang demikian haruslah diperangi.[23]
f. Kesimpulan
Ar-Razi
adalah filosof yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan.
Hal ini sebagaimana Mu’tazilah yang merupakan theologi dalam Islam.
Apabila ar-Razi seorang muslim maka dia bukanlah seorang muslim yang
sempurna disebabkan ketidak percayaannya kepada wahyu dan kenabian. Akan
tetapi Ar-Razi tetap dipandang pada masanya sebagai seorang yang tegar
dan liberal didalam Islam. Bahkan dalam sejarah Ar-Razi adalah seorang
yang dikenal sebagai seorang rasional murni dan sangat mempercayai akal,
bebas dari prasangka serta terlalu berani dalam mengeluarkan gagasan
filosofinya.[24]
Dan
untuk mengakhiri makalah ini saya akan menukil pernyataan Al-Ghazali
mengenai persoalan-persoalan yang terdapat dalam karya-karya filosof
Islam yang menurutnya dapat merusak ajaran Islam. Al-Ghazali mencatat
ada dua puluh persoalan, dari dua puluh persoalan tersebut tujuh belas
diantaranya dipandang sebagai pembaharuan yang tercela (bid’ah).
Dan tiga diantaranya yakni pandangan filosof tentang (1) yakni badan
manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, akan tetapi jiwa yang
dicabut dari badan yang akan diberi balasan baik atau hukuman. Dan baik
pahala atau hukum tersebut adalah dalam bentuk spritual dan bukan bentuk
jasmaniah (2) Tuhan yang maha Mulia hanya mengetahui hal-hal yang
universal dan bukan yang partikular dan (3) bahwa dunia ini kadim[25]
baik waktu yang lalu maupun yang akan datang. Oleh Al-Ghazali ketiga
pandangan itu menyebabkan para filosof dapat dipandang kafir.[26]
REFERENSI
1. Yusril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara
2. Dr. Ismail Asy-Syarafa, Ensklopedi Filsafat, Jakarta : Khalifa
3. Harun Nasution, Fisafat dan Mistisme Dlam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
4. Hasymsyah Naution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
5. Bagus Takwin, Filsafat Timur
6. Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka
7. JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisus
8. Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta : UIP
9. Agusa Purwanda, Teologi Filsafat dan Sains, Malang: UMM Press, 2002, Cet I
[1] Yusril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam,Jakarta: Bumi Aksara, cet I, hal. 34
[2] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Ensklopedi Filsafat, Jakarta : Khalifa, Cet I, hal. 106
[3] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 34
[4] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal.15
[5] Drs. H. A Mustofa, Filosafat Islam, Bandung: Pustaka Setia , hal.117
[6] Harun Nasution, Op.Cit, hal 19
[7] Bagus Takwin, Filsafat Timur, hal. 123
[8] Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal. 46
[9] Hasymsyah Naution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
[10] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
[11] Yusril Ali, Op.Cit, hal.35
[12] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
[13] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 36
[14] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
[15] JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta : Penerbitan Yayasan Kanisus, Cet I, hal. 43-44
[16] Yusril Ali,Op.Cit, hal. 37
[17] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal. 120
[18] Yusril Ali, Op.Cit, hal.38
[19] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 26-27
[20] Yusril Ali, Op.Cit, hal.38
[21] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal
[22] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit, hal.20
[23] Op.Cit, hal. 21
[24] Drs. H.A Mustofa, Op.Cit, hal. 125
[25] Terdahulu dari tiap-tiap permulaan; awal daris segala permulaan yang tidak terbatas oleh masa.
[26] Agusa Purwanda, Teologi Filsafat dan Sains, Malang: UMM Press, 2002, Cet I, hal. 29
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan komentar kamu