Chat

SPIONASE DALAM TINJAUAN DA'WAH



Oleh: Agus setiawan, Eling Fanny A, & Saparianto
Takhrij Hadist:
Q صحيح بخارى.كتاب الجهاد والسير:٣٠٥١
(١٧٣) باب الحرب إذا دخل دار الإسلام بغير أمان

3051- حدثنا ابو نعيم: حدثنا ابو العميس, عن إياس بن سلمة بن الأكوع عن أبيه قال: " أتى النبي-ص.م - عين من المشركين- وهو في سفر- فجلس عند أصحابه يتحدث, ثم انفتل, فقال النبي- ص.م  :" اطلبوه, واقتلوه, فقتلته, فنفله سلبه".[1]
Artinya: Dari Iyas bin Salamah bin Akwa’ radhiyallahu 'anhu, dari ayahnya berkata:” Datang seorang mata-mata dari kaum musyrikin pada Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam sewaktu beliau sedang tidak ada (dalam perjalanan atau bepergian), lalu ia duduk bersama para sahabat sambil berbincang-bincang, kemudian ia pergi. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:” cari dan bunuh dia”. Salamah lalu membunuhnya, Nabi memberikan kepadanya barang-barang kepunyaan mata-mata tersebut”. (HR. Bukhori)
Q سنن أبي داود. كتاب الجهاد:٢٦۵۳
(۱۱۰) باب في الجاسوس المستأمن
2653ـ حدثنا الحسن بن عليّ، قال:حد ثنا أبو نعيم، قال:حد ثنا أبو عميس، عن ابن سلمة بن الأكوع، عن أبيه قال: أتى النبي ص.م  عينٌ من المشركين وهو في سفر، فجلس عند أصحابه ثم انسلَّ[2] فقال النبيُّ : "اطلبوه فاقتلوه" قال: فسبقتهم إليه فقتلته، وأخذت سلبه، فنفّلني إياه.[3]
Artinya: Dari Husain bin Ali berkata: dari Abu Nu’aim berkata: dari Abu ‘Umais, dari ibnu Salamah bin Akwa’ dari Ayahnya berkata:”Datang seorang mata-mata dari kaum musyrikin pada Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam sewaktu beliau tidak ada (dalam perjalanan atau bepergian), kemudian ia duduk bersama para sahabat kemudian ia pergi secara diam-diam, kemudian Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:”Cari dan bunuh dia”. Salamah berkata: kemudian aku mendapatinya dan membunuhnya, dan aku mengambil harta miliknya, kemudian Rasul Shalallahu Alaihi Wasallam memberikan aku seluruh harta milik mata-mata tersebut”.
Hadits Pendukung
مختصر صحيح مسلم: كتاب السير:۱۱٤٤صفحة: ٣٠٤
٣٠ـ في إعطاء جميع السلب للقاتل
عن سلمة بن الأكوع  قال: غزونا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم  هوا زن, فبينا نحن نتضحى مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  , إذا جاء رجل على جمل أحمر, فأناخه، ثمّ إنتزع طلقا من حقبه، فقيّد به الجمل، ثمّ تقدم يتغذى مع القوم، وجعل ينظر، وفينا ضعفة ورقّة في الظهر وبعضنا مشاة، إذ خرج يشتدّ، فأتى جمله، فأطلق قيده، ثمّ أناخه، وقعد عليه، فأثاره، فاشتدّبه الجمل، فاتّبعه رجل على ناقة ورقاء.
قال سلمة: وخرجت أشتدّ، وكنت عند ورك الناقة، ثمّ تقدّمت حتى كنت عند ورك الجمل، ثمّ تقدّمت حتىّ أخذت بخطام الجمل، فأنخته، فلمّا وضع ركبته في الأرض، اخترطت سيفي، فضربت رأس الرجل، فندر، ثمّ جئت بالجمل أقوده، عليه رحله وسلاحه، فاستقبلني رسول الله صلى الله عليه وسلم  والناس معه، فقال: "من قتل الرجل؟". قالوا: ابنو الأكوع. قال: " له سلبه أجمع".
Artinya: “diriwayatkan dari Salamah bin Akwa’ ra, ia berkata: kami pernah berperang menyertai Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam. Pada perang hawazin, ketika kami sedang makan pagi bersama Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam, tiba-tiba seorang lelaki (dari pihak musuh) datang dengan naik onta merah, lalu ia singgahkan ontanya, kemudian ia mengambil tali dari tasnya untuk mengikat ontanya. Kemudian datang untuk makan siang bersama anggota pasukannya. Dia segera melihat dan di pihak kami ada yang naik onta karena payah dan sebagian kami yang lain ada yang berjalan kaki. Tiba-tiba seorang lelaki dari pihak musuh tersebut keluar dengan keras lalu dia datangi ontanya, kemudian ia lepas ikatan talinya, lalu dia derumkan ontanya agar ia bisa duduk diatasnya, kemudian ia bangkitkan, lalu ia pergi dengan naik onta tersebut dengan cepat. Dibelakangnya ada seorang lelaki (temannya) menyusulnya dengan naik onta betina berwarna abu-abu.”
Kata Salamah: lalu saya keluar dengan cepat. Semula saya berada dibelakang onta betina tersebut, lalu saya maju lagi sehingga saya berada dibelakang onta yang dinaiki oleh musuh atau laki-laki yang berangkat lebih dulu itu. Saya maju lagi sehingga saya berada diarah hidung onta musuh, lalu saya menderumkannya. Ketika onta tersebut meletakkan lututnya ke tanah, saya hunus pedang saya lalu saya penggal kepala musuh itu hingga ia mati. Setelah itu saya bawa ontanya kemudian saya tuntun, yang diatasnya ada perbekalan dan pedangnya. Kemudian Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam dan para pasukannya menyambut saya. Beliau bertanya,”siapa yang telah membunuh musuh ini?”, mereka menjawab,”Salamah bin Akwa’”. Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam berkata,”dia memperoleh seluruh rampasan dari musuh yang telah ia bunuh.”[4]
Dari dua hadits diatas yang dijelaskan dengan sebuah hadits panjang, kita dapat mengambil beberapa pelajaran yang sangat erat kaitannya dengan da'wah[5]:
A. Segi Akhlaq / Sifat Da'i
1. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seorang da'I harus selalu dalam ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan manusia agar taat pada Allah dan Rasul-Nya, diantaranya seperti yang terdapat pada surat An-Nur:54
Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".
Begitu pula jika seseorang da'i telah melakukan ketaatan kepada Rasul berarti telah melakukan ketaatan pada Allah. Karena dengan mengikuti Rasul (mutaba'ah), amalan seseorang dapat diterima disisi Allah.
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. surat An-Nisa': 80
Da'i yang benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya berarti ia selalu menjadikan aktivitas dakwahnya bersumber dibawah bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah, dengan bekal keduanya manusia dibimbing ke jalan yang benar. Karena dengan keduanya manusia terutama seorang da'i tidak mudah terseret pada kesesatan, sebagaimana jaminan yang telah dikabarkan oleh nabi, disaat beliau menjalankan haji wada' dalam sebuah hadits yang panjang.
" Aku telah meninggalkan kepada kalian, yang jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat selamanya, Kitabullah dan kalian akan ditanya tentang aku."[6]
2. Ketaatan kepada pemimpin (Ulil Amri)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(An-Nisa': 59)
Pada ayat ini disebutkan dengan sangat jelas, ketika memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul, dengan menggunakan pengulangan kata taat, namun tidak untuk Ulil Amri (pemimpin), hal ini menandakan bahwa wajibnya seorang yang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena Allah adalah sang pembuat syari`at yang pasti benarnya secara mutlak, Rasul adalah seorang yang telah dipilih Allah untuk mengajarkan, menerangkan dan memberikan contoh (suri tauladan) tentang syari'at dimuka bumi ini, yang berada dalam bimbingan dan pengawasan Allah, bila ia melakukan kesalahan akan langsung ditegur oleh Allah, sifat ini sering disebut dengan ma'sum. Oleh karena itu, sumber hokum Islam yang telah disepakati adalah al-Qur'an dan as-Sunnah.
Sedangkan untuk Ulil Amri tidak didahului dengan kata ketaatan, ini merupakan salah satu kemu'jizatan al-Qur'an dari segi bahasa. Ulil Amri tidak didahului dengan kata taat karena Ullil Amri layaknya manusia biasa yang tekadang melakukan kesalahan dan dosa. Sehingga taat itu hanya kepada Allah dan Rasul-Nya hal-hal yang ma'ruf yang tidak menyelisihi syari'at, disebutkan didalam sebuah hadits:
لا طاعة لمخلوق في معصية الله (رواه أحمد)
" Tidak ada ketatan (kepatuhan) kepada makhluk untuk berma'siat pada Allah." ( H.R. Ahmad)[7]
Pengertian ulil amri sendiri adalah para penguasa ahli-ahli hukum, para ulama', panglima-panglima militer, para pemimpin, dan para zu'ama. Mereka ini mampu mengendalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul, dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila ulil amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk menaatinya, dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka (ulil amri) adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan dalam menentukan kesepakatan mereka.[8]
Dengan demikian para juru dakwah hendaknya selalu taat pada ulil amri selama mereka tidak berjalan diatas jalan yang salah atau mereka (ulil amri) memerintahkan sesuatu atas dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena dengan ketaatan kepada mereka kita dapat membangun masyarakat yang Islami dengan pengamalan syari'at yang benar dan sempurna (Islam kaffah).
3. Keberanian.
Salah satu sifat yang harus dimiliki seorang da'i. Keberaniaan yang berdasarkan ilmu yang memiliki dimensi iman serta berorientasi pada pengamalan sehari-hari. Dengan keberanian inilah Rasul selalu optimis dalam berda'wah, dengan keberanian inilah Abu Bakar ash-Shidiq menginfaqkan seluruh hartanya fi sabilillah, dengan keberanian inilah Umar bin Khathab menantang para pembesar Quraisy, dan dengan keberanian inilah Abu Dzar al-Ghifari berani meneriakkan keIslamannya didepan ka'bah yang dipenuhi oleh orang-orang musyrikin disaat kaum muslimin masih berjumlah sedikit.
Seorang da'i sangat membutuhkan rasa keberanian yang tinggi dalam mengemban da'wah, Karena dengan berani segala problematika yang ada di lapangan akan dihadapinya dengan rasa optimis, dan keberaniaan memiliki dua aspek, Pertama; keberanian yang dituangkan dalam perkataan, seperti yang terdapat dalam al-qur'an
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.( al-Ahzab: 70-71)
Sedangkan dalam hadits, dengan modal keberanian yang tinggi seorang da'i bisa memperoleh sebaik-baiknya jihad.
أفضل الجهاد قول كلمة عدل عند صلطان جائر
'Sebaik-baik jihad adalah ucapan yang lurus pada penguasa yang jair( banyak maksiat).' ( HR. Abu Daud)
Kedua: keberaniaan yang tercermin dalam perbuatan, dengan keberaniaan para sahabat maju ke medan peperangan. Mereka yang telah menginginkan syahid berani melakukan teransaksi jual beli, yang tiada lain untuk mengharapkan surga.
"Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar." ( at-Taubah:111)
Jika kita hubungkan dengan hadits yang disebutkan pada awal pembahasan makalah ini, dapat kita kaitkan bahwa, seorang sahabat nabi Salamah bin Akwa menjalankan perintah nabi untuk mengejar seorang yang telah berhasil menyusup ke dalam pasukan kaum muslimin, maka dengan keberanian yang dimiliki ia berangkat memenuhi perintah Rasul, padahal orang tersebut tidak diketahui nama, bahkan seberapa kuat dan keahlian apa yang dimiliki oleh musuh, namun atas dasar keimanan yang dibarengi ketaatan pada nabi ia berangkat dengan keberanian yang nyata dan akhirnya membuahkan hasil. Seorang da'I seharusnya berani selama ia berada dalam koledor yang benar dan sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah serta selalu optimis menempuh jalan da'wah.
Dalam Al-Qur'an banyak kita dapati yang menghubungkan keimanan dengan keberanian, atau menyatakan bahwa keimanan adalah syarat bagi adanya keberanian pada seseorang. Orang-orang yang benar-benar beriman adalah orang yang paling tinggi disisi Allah; karena itu, mereka tidak usah takut menghadapi tantangan hidup; mereka harus berani melihat jauh ke depan dengan melangkahi segala macam rintangan dan penderitaan, karena yang demikian juga telah dialami oleh orang-orang sebelum mereka.[9]
Di samping keimanan murni, juga kesabaran dan ketabahan menjadi syarat bagi adanya keberanian yang akan menghasilkan kemenangan, yang akan dapat mengalahkan musuh yang lebih banyak berlipat ganda; dua kali bahkan sepuluh kali lebih banyak.[10]
Artinya: "Hai nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu. Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Anfal: 64-66)
Juru Da'wah Harus Berani
Menurut Muhammad Ghazali, bahwa kejahatan berwatak kasar dan condong ke arah mempergunakan kekerasan.[11]
Berhubung dengan watak kejahatan yang demikian, maka keimanan haruslah mampu untuk menang, sanggup bergerak, kuasa melawan dan berani dalam segala arena perjuangan. Lantaran itu, keberanian haruslah menjadi sifat yang kuat dalam diri juru dakwah, yang tidak boleh sebentar juapun berpisah daripaanya, selagi dia berjuang di tengah-tengah manusia.
Tuntutan mutlak keberanian yang wajib ini, bahwa kebenaran Allah haruslah menang, pedoman-Nya harus meninggi jalan-Nya harus jelas tanda-tandanya dan harus kuat dasarnya. Adapun orang-orang yang bersifat berani, tiadalah layak suara mereka turun merendah; tidaklah pantas orang-orang jahat dapat mengalahkan ajaran mereka, karena kehebatan musuh-musuh mereka di atas bumi ini tidak arti apa-apa, betapapun mereka memiliki kekuatan.
Artinya: "Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. " (Al-Baqarah: 114)
Telah disebutkan, bahwa jumhur umat Islam ditugaskan untuk menyuruh yang ma'ruf dan melaksanakannya; ditugaskan untuk melarang yang mungkar dan merubahnya; ditugaskan untuk memusuhi kejahatan dan mendesak para pelaksananya.
Umat Islam seluruhnya diharuskan bersikap berani dalam melindungi agama dan menentang para pelanggar batas-batas agama, yang terdiri dari orang-orang durjana dan orang-orang mesum.
Apabila kekuatan umat Islam telah dapat diterobos oleh kekuatan para penentang agama, maka mereka sudah tidak ada arti apa-apa di sisi Allah; bukan lagi umat pilihan yang terhormat, seperti ditegaskan Rasul, menurut hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Umar:[12]
"Apabila kamu di satu waktu melihat umatku takut mengatakan kepada orang dzalim: wahai engkau yang dzalim!, dalam keadaan demikian, ada mereka atau tidak ada sama saja." (Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Umar).
Para juru dakwah yang bertugas menjaga Islam, mereka itu adalah angkatan untuk membela keimanan, sama halnya dengan tentara yang ditugaskan untuk memelihara keamanan.
Apabila juru dakwah Islam sudah tidak berani, tidak sanggup memikul risalahnya, tidak segera menerima panggilannya, tidak cukup kuat hati berhadapan dengan para penentangnya dan merasa keok di hadapan musuhnya; maka lebih baik mereka menyingkir dari medan dakwah, agar Islam tidak terjerat dengan tugas yang tidak terlaksana.[13]
Faktor Yang Menimbulkan Keberanian
Menurut Muhammad Ghazali factor yang menimbulkan keberanian, yaitu perpaduan antara budi pekerti yang utama dan hati nurani pada diri manusia (fitrah).
Pertama: penguasaan manusia akan dirinya, pembebasan dari belenggu keinginan dan ketakutan, kerelaannya menerima corak kehidupan terhindar dari kerendahan dunia dan kesenangan syahwat.[14]
Seorang juru dakwah sebaiknya memiliki sifat ikhlas dan ridho dalam menerima nikmat yang Allah berikan, sehingga ia tidak merasa tergantung atas penilaian orang lain.
Kedua: pengutamaan pemberian Allah dan merasa kuat dengan beramal karena Allah; penempatan kekuasaan Allah atas kekuasaan para dictator yang kejam; kesediaan menerima qadha dan qadar Allah atas dasar, bahwa rezeki dan ajal kembali kepada Allah saja.[15] Semua ini terkumpul dalam makna tawakkal pada Allah yang sangat mengakui keesaan-Nya.

B. Kewajiban Yang Ditanggung Oleh Para Pemimpin Muslimin
Salah satu tugas dari pemimpin kaum muslimin (khalifah) adalah berlaku tegas dalam masalah-masalah yang meyangkut hajat kaum muslimin, terlebih masalah aqidah. Hadits diawal pembahasan ini, sangat erat kaitannya dengan peran serta seorang pemimpin kaum muslimin dalam menentukan serta memutuskan permasalahan disaat-saat tertentu, dapat kita lihat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dengan sigap dan cepat, memerintahkan seorang sahabat yang telah melaporkan situasi markas kaum muslimin disaat peperangan, yang telah tersusupi seorang mata-mata dari kaum musyrikin,  Rasul pada saat itu sedang tidak ada ditempat. Seraya memberikan motivasi pada sahabat Salamah bin Akwa' dengan ganjaran akan mendapatkan salab ( rampasan perang, yang berupa segala sesuatu yang melekat pada orang tersebut, termasuk harta benda yang dibawa meliputi kendaraan yang ditunggangi).
Sifat seorang pemimpin pada konteks ini adalah ketegasan, yang pasti didalamnya menyangkut ilmu, iman, serta amal. Karena jika seorang mata-mata dibiarkan maka hal ini dapat merusak kesolitan kaum muslimin dengan cara mengadu domba kaum muslimin, seperti kejadian yang dilakukan oleh seorang Yahudi untuk mengembalikan perpecahan dan pertentangan didalam sahabat Muhajirin dan Anshar. Atau bisa juga dengan masuknya mata-mata membuat pasukan kaum muslimin mengalami kesukaran menghadapi pasukan kaum musyrikin disebabkan mereka mengetahui taktik yang akan dijalankan selama pertempuran.
Rasulullah sebagai seorang teladan dalam menjalankan da'wah, selain sebagai seorang pemimpin negara yang memiliki kewenangan penuh dalam memutuskan sesuatu, beliau juga adalah da'i. Begitulah idealnya seorang da'i ketika ia menjadi kepala negara ia bertindak atas nama agama bukan sekedar kepentigan negara (nasionalis), masyarakat banyak (mayoritas), apalagi kepentingan-kepentingan pribadi. Juru da'wah minimal ia adalah pemimpin bagi keluarganya atau amanah yang Allah telah diberikan kepadanya, agar selalu berusaha menjadi orang pertama yang menyerukan kebenaran serta merubah kemungkaran untuk meraih gelar umat yang terbaik[16], sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya dimuka bumi dan dihadapan Allah.

C. Tajassus (Spionase) dalam Perspektif Da'wah
Tajassus adalah mengorek-ngorek suatu berita. Secara bahasa bila dikatakan “jassa al akhbar wa tajassasaha” artinya adalah mengorek-ngorek berita, baik berita umum maupun rahasia, maka ia telah melakukan aktivitas Tajassus (spionase). Orang semacam ini disebut jassus (mata-mata).[17] Sedangkan didalam kitab syarah Bukhari " Fathul Bari", aktivitas tajasus disebut dengan mata-mata itu karena adanya usaha dalam mengoptimalkan indra ini sebagai sumber mendapatkan yang diinginkan, seakan-akan semua anggota badan menjadi mata.[18]
Suatu aktivitas bisa terkategori tajassus (spionase), jika di dalamnya ada unsur mengorek-ngorek (mencari-cari) berita. Sedangkan berita yang dikorek-korek (dicari-cari itu) tidak harus berita rahasia. Akan tetapi semua berita, baik umum maupun rahasia. Walhasil, tajassus adalah mencari-cari berita, baik yang tertutup maupun yang jelas.
Jika suatu berita bisa didapatkan secara alami tanpa perlu mencari-cari (tafahhashu), atau tanpa perlu melakukan aktivitas tajassus untuk mengetahui berita tersebut; atau hanya sekedar mengumpulkan, menyebarkan, dan menganalisa suatu berita, maka semua ini tidak termasuk dalam kategori spionase (tajassus), selama tidak ada unsur mencari-cari (mengorek-ngorek) berita itu lebih lanjut.
Jika anda mencari berita dalam kondisi semacam ini, maka ini tidak disebut dengan tajassus. Sebab, yang disebut mencari-cari berita atau hingga disebut tajassus adalah, mencari-cari (mengorek-ngorek), mengusut-ngusut berita, dengan tujuan untuk menelitinya lebih dalam.
Adapun orang yang mencari berita untuk dikumpulkan, dan menelitinya tidak untuk tujuan mengusut berita itu lebih lanjut, namun mengumpulkannya untuk disebarkan kepada masyarakat, maka hal ini tidak disebut tajassus. Orang yang mencari, dan mengumpulkan berita, seperti redaktur Koran, atau wakil-wakil kantor berita tidak disebut dengan jassus (mata-mata). Akan tetapi, bila profesinya sebagai redaktur Koran, wakil kantor berita itu digunakan sebagai media untuk melakukan aktivitas tajassus; pada kondisi semacam ini, ia disebut jassus (mata-mata). Orang tersebut disebut mata-mata, bukan karena posisinya sebagai redaktur Koran yang mencari berita, akan tetapi karena aktivitas mata-mata yang ia lakukan dengan mengaku sebagai wartawan. Kenyataan seperti ini banyak dilakukan oleh wartawan-wartawan kafir harbiy yang masuk ke negeri-negeri Islam.
Pegawai dinas inteljen, biro mata-mata, dan lain-lainnya, yang bertugas mengorek-ngorek berita (memata-matai), maka mereka adalah mata-mata (jassus). Sebab, aktivitasnya sudah terkategori sebagai aktivitas spionase (tajassus).[19]
1. Hukumnya
Hukum tajassus bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari siapa yang dimata-matai. Al-Qur’an melarang dengan tegas aktivitas tajassus yang ditujukan kepada kaum muslimin.[20] Allah berfirman,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prsangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus). (Al-Hujurat: 12)
Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan Al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu” (dengan ha’ bukan dengan jim). Al-Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya (tajassasu dan tahassasuu) tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka (membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu). Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu.[21]
Ada pula yang menyatakan, kalau tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Imam Qurthubiy, mengartikan firman Allah di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang Nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni janganlah seorang di antara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah swt menutupnya (auratnya).”
Dalam sunnah, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:”..janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan…”[HR. ibnu Majah dari Abu Hurairah, bisa dilihat hadist-hadist senada dalam Imam Ibnu katsir, tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hujurat: 12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].[22]
Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:”Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka.” [HR. abu Dawud dari Abu Umamah].
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: ”Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas].
Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Di antara hal yang menyempurnakan keIslaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR. Tirmidzi dalam shahih at-Tirmidzi].
Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam juga bersabda: “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam: “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan pada hari kiamat." (HR. Thabrani dalam mu'jam Al-Kabir).[23]
Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: "orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga." (HR. Bukhari dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daarul Qutny).
Hadist-hadist diatas merupakan larangan yang tegas terhadap aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-orek berita, menguping pembicaraan orang lain. Padahal aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya. Oleh karena itu tidak aragu lagi bahwa aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.
Islam juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir baratbiasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang (electronic surveillance).
Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti disidang pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-a'masy bin zaid, ia menceritakan bahwa al-walid bin 'uqban dihadapkan kepada Ibnu mas'ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya, Ibnu Mas'ud berkata:"Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.[24]
2. Sanksinya:
Apabila tajassus dilakukan kafir harbiy, baik hakiki maupun hukman, maka sanksinya adalah bunuh, bila diketahui bahwa ia adalah mata-mata, atau telah terbukti bahwa ia adalah mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwauat uang dikemukakan oleh Imam Bukhori dari Salamah bin al-Akwa'.[25]
Salamah bin al-akwa' berkata: "Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulallah Shalallahu Alaihi Wasallam, sedangkan Rasulallah sedang safar. Lalu orang itu duduk bersama dengan para sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, dan ia berbincang-bincang dengan para sahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam berkata,"cari dan bunuhlah dia!". Lalau, aku (salamah bin al-akwa') berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para sahabat yang lain, dan aku membunuhnya.[26]
Dan bila tajassus dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang dijatuhkan kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir dzimmiy disyaratkan untuk tidak menjadi mata-mata, dan bila ia melakukan spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir dzimmiy tadi melakukan tindak tajassus, maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan apa-apa, maka khalifah boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya atau tidak, bila ia melakukan tajassus.[27]
Namun jika yang melakukan tajasus itu adalah orang isalam sendiri, seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang telah mengirimkan sebuah pucuk surat melalui seorang kukrir untuk sanak keluarganya yang berada di Mekkah pada saat itu, karena pasukan muslimin berencana melakukan penyerangan besar-besaran ke Mekkah ( Fathu Mekkah), ternyata pelakunya adalah seorang sahabat yang Allah telah ampuni segala perbuatanya baik yang telah lalu atau yang akan datang ia adalah Hatib bin Adi dikarenakan ia termasuk yang ikut dalam perang Badar. [28] Seorang da'i sebaiknya selalu dapat mempertimbangkan maslahat, dan bisa membedakan mana musuh mana lawan. Selama orang yang memusuhi kita masih mengaku islam, maka hak sebagai seorang muslim padanya masih berlaku padanya, jika ia meninggal dishalati, jika ia berbuat kesalahan ia  dimaafkan namun bukan untuk masalah yang prinsip. Bisa jadi rasul memberi maaf pada Hatib bi Adi disamping ia adalah Ahli Badr, juga karena surat yang dikirim tidak sampai pada yang dituju yakni keluarganya yang berads di Mekkah.


3. Kaitan Tajasus dengan Da'wah
Penggunaan tajassus secara bahasa yang sering dilakukan dalam da'wah adalah sering diartikan atau dimaksudkan dengan tujuan pemetaan da'wah itu sendiri. Dalam praktiknya hampir sama mulai dari identifikasi, pengumpulan data, kesimpulan dan langkah-langkah yang akan diambil,  namun yang membedakannya adalah konteksnya. Tajassus dalam da'wah sangat penting karena dapat membantu dalam pengambilan langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kompleks.
Tajassus yang digunakan oleh da'i idealnya berada dalam kerangka untuk mencapai ketaatan, ketika seorang da'i ingin berda'wah pada suatu tempat yang belum ia kunjungi, terlebih dahulu ia sedikit mendapat gambaran tentang daerah itu dari literatur-literatur atau berita-berita yang berkaitan dengan daerah itu. Hal ini yang masih jarang dilakukan para da'i dan sering telah diterapkan oleh kalangan misionaris.

D. Kehati-hatian dan Waspada dalam Berda'wah
Kata hati-hati seringkali digunakan pada sesuatu yang bila dilakukan atau dilanggar akan menimbulkan kecelakaan atau madharat. Namun kata waspada bila ditinggalkan akan menberikan rasa tenang dihati, ini berarti kehati-hatian lebih menekankan pada peninggalan pelarangan untuk mendapatkan keselamatan, sedangkan waspada menekankan pemberian rasa aman jika ditinggalkan.
Imam Syafi'i sebagai suatu mazhab yang terkenal dengan kehati-hatian dalam melakukan sesuatu ibadah bila terdapat suatu hal yang masih beliau ragukan hal ini sering disebut dengan Ihtiyath. Ini sangatlah tepat karena dengan kehati-hatian dalam melaksanakan amalan-amalan ibadah seseorang akan selamat dari tertolaknya amal dan terhapusnya kebaikan ( bid'ah), lebih-lebih dalam masalah aqidah.
Sorang da'i tetap harus hati-hati dalam menyampaikan da'wah, dengan bisa memilih  dan mempelajari fikh waqi', fiqh ahkam, fiqh aulawiyat dalam berda'wah. Tidak hanya sekedar memberantas kemungkaran, namun seberapa efektif kita menjelaskan sesuatu. Itu karena terkadang kebenaran dipahami dengan salah oleh si penerimanya ( mad'u). Dan seorang da'i juga dituntut agar selalu waspada atas segala kondisi karena godaan dalam berda'wah sangat menggiurkan, baik itu berupa syahwat pada keindahan dunia atau syubhat dalam memahami hakikat sesuatu.
Adapun batasan kehati-hatian dan waspada tetap harus berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah karena dua hal inilah yang menjadi pegangan wajib bagi seorang da'I. Hati-hati terhadap fitnah dunia dan waspada pada godaan syetan yang menyerang manusia dari segala penjuru untuk menjerumuskan anak cucu adam pada kesatan dan kemaksiatan pada Allah[29].

wallahu 'alam bishawab
MARAJI':
ý     Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Jihad wa Sir, Bab  Al-Harbu Idza Dakhola Daar Islam bi Ghairi Amani (masuknya musuh ke dalam kekuasaan Islam dengan persaan was-was), Maktabah At-Tsaqafi, Beirut. II/249.
ý     Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab Jihad, Bab. Fil Jasusus al-Musta'man ( mata-mata yang meminta suaka), hadits no. 2653, ( Daar Ibnu Hazm, Beirut, 1998), cet. I.
ý     Mukhtashar Shahih Muslim, Tahqiq Nasharuddin al-Bani.
ý     Dr. Sa'id bin Ali bin Wahaf Al-Qahtani, Fiqih da'wah dalam shahih bukhari, Kementrian bagian wakaf dan da'wah kerajaan Saudi Arabia, cet.I, 1421 H, jilid. II.
ý     Ibnu Katsir, tafsir Al-Qur'an Al-Azhiem, 1969. Beirut: Daar Al-jiil.
ý     Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, cet. I, 1995.
ý     A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. III, 1994.
ý     Fauzan Al Anshari, Awas! Operasi Inteljen, Jakarta: Ar Rahmah media, cet. I, September 2006.
ý     Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Syirkah wa Maktabah wa Matba'ah Musthafa al-Bani, Mesir, 1959, Jilid VI.
ý     Badruddin Abu Muhammad, Umdatul Qari', Bab. Al-Harbu Idza Dahola Daar al-Islam bi Ghairi Amani, ( Daar Al-Fikr, Beirut), Jilid VII.

[1] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Jihad wa Sir, Bab  Al-Harbu Idza Dakhola Daar Islam bi Ghairi Amani(masuknya musuh ke dalam kekuasaan Islam dengan persaan was-was), Maktabah At-Tsaqafi, Beirut. II/249, hal. 161
[2] Ada perbedaan dalam penggunaan arti berpaling, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari perkataan berpaling disebutkan dengan kata "" انفتلberpaling sebagaimana layaknya orang pergi, sedangkan didalam hadits Sunan Abi Daud disebutkan dengan kata انسلَّ yang memiliki arti pergi dengan sekoyong-koyong atau dengan cara sembunyi-sembunyi, diam-diam dan rahasia.
[3] Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab Jihad, Bab. Fil Jasusus al-Musta'man ( mata-mata yang meminta suaka), hadits no. 2653, ( Daar Ibnu Hazm, Beirut, 1998), cet. I, hal. 408
[4] Mukhtashar Shahih Muslim, Tahqiq Nasharuddin al-Bani, hadits No. 1144
[5] Dr. Sa'id bin Ali bin Wahaf Al-Qahtani, Fiqih da'wah dalam shahih bukhari, Kementrian bagian wakaf dan da'wah kerajaan Saudi Arabia, cet.I, 1421 H, jilid. II, Hal. 777-779
[6] Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim dalam KitaabHajj, bab Hajjin Nabi (1218), Abu Daud dalam Kitaab Manaasik, bab Sifat Haji Nabi (1905), serta Ibnu Majah dalam Kitaab Manaasik, bab hajjatu Rasulillah (3074)
[7] Ibnu Katsir, tafsir Al-Qur'an Al-Azhiem, 1969. Beirut: Daar Al-jiil, Hal. 491
[8] Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, cet. I, 1995, hal. 92-93
[9] Lihat, umpamanya surat Ali-Imran: 139-18, Al-Baqarah: 154-156, 214, Ali-Imran: 165-175
[10] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. III, 1994, hal. 182
[11] Ibid, hal. 184
[12] ibid
[13] Ibdi, hal. 185
[14] ibid
[15] Ibid, hal. 186
[16] Lihat al-Qur'an surat al-Imran: 104 dan 110
[17] Fauzan Al Anshari, Awas! Operasi Inteljen, Jakarta: Ar Rahmah media, cet. I, September 2006, hal. 202-203
[18] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Syirkah wa Maktabah wa Matba'ah Musthafa al-Bani, Mesir, 1959, Jilid VI, hal. 508-509
[19] Fauzan Al Anshari, Op.Cit., hal. 203-204
[20] Ibid.
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid, hal. 206
[24] ibid
[25] Ibnu Hajar al-Asqalani, Op. Cit., hal. 509
[26] Badruddin Abu Muhammad, Umdatul Qari', Bab. Al-Harbu Idza Dahola Daar al-Islam bi Ghairi Amani, ( Daar Al-Fikr, Beirut), Jilid VII, hal. 196-197
[27] Ibnu Hajar al-Asqalani, Op. Cit., hal. 508-509
[28] Lihat Hadits riwayat Abu Daud di Bab Hukum Jasus Muslim, No. 2650,(sunan Abu Daud, hal. 480)
[29] Al-A'raf; 16-18

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Tinggalkan komentar kamu

Kirim Update Info Terbaru Untuk
Sobat InfoAgus Langsung ke Email Sobat !